Konsep Islam yang berkembang di Indonesia menjadi inspirasi bagi Jerman, kata Kepala Departemen Bidang Urusan Agama, Kementerian Luar Negeri Jerman, Dubes Volker Berresheim.
Saat membuka seminar tersebut yang diadakan baru-baru ini, Dubes Berresheim mengatakan, konsep Islam yang berkembang di Indonesia menjadi inspirasi bagi Jerman dan dapat menjadi alternatif untuk mengimbangi dominasi konsep Islam dari etnis tertentu yang saat ini berkembang di Jerman.
“Kita perlu memperkenalkan ke publik Jerman warna lain dari Islam. Islam tidak identik dengan etnis tertentu. Islam yang dipraktekkan masyarakat Indonesia adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu menjadi pelopor toleransi di tengah ratusan etnis yang sangat heterogen. Coba Anda bayangkan, 260 juta penduduk terpencar di ribuan pulau di Indonesia, dengan ratusan budaya dan bahasa, serta agama dan kepercayaan yang beragam, mampu hidup secara damai dan sekitar 87 persen penduduk Indonesia beragama Islam," ujar Dubes Berresheim Villa Borsig, Berlin, Jerman.
Sejumlah tokoh lintas kalangan dan agama hadir pada seminar ini, antara lain anggota parlemen Jerman, organisasi dari berbagai agama seperti Islam, Kristen dan Yahudi, kalangan media, LSM, dan sejumlah pejabat pemerintah Jerman.
Pensosbud KBRI Berlin, Hannan Hadi mengatakan pada Kamis seminar bertema “Tolerance of Islam in Pluricultural Societies", digagas Dubes RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno dan diadakan atas kerja sama antara Kemenlu Jerman, KBRI Berlin, dan Kedutaan Besar Azerbaijan di Berlin.
Sementara itu Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE sebagai pembicara utama pada seminar ini menyatakan Islam Indonesia diilhami oleh empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Pancasila merupakan platform dan integrating force dari keberagaman yang dimiliki Indonesia," katanya.
Dikatakan, Islam Indonesia dikenal sebagai agama yang penuh warna dan kedamaian. Islam Indonesia sangat tidak kental dengan Arab tetapi bukan berarti tidak lebih Islami dari negara Arab. Sejumlah peneliti mengungkapkan bahwa masyarakat muslim Indonesia lebih taat menjalankan syariat Islam, seperti puasa, sholat Jumat, dan haji dibandingkan beberapa negara di Timur Tengah, kata Prof. Azyumardi..
Lebih jauh di mengatakan, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, peran umat Islam dalam memajukan demokrasi di Indonesia sangat besar. Berbeda dari praktik di negara-negara lain, masyarakat Muslim Indonesia tidak mengedepankan basis agama Islam sebagai identitas partai politik. Mereka justeru banyak berperan di partai-partai politik yang berbasis nasional. Terbukti dalam sejumlah Pemilu yang diselenggarakan Indonesia, baik untuk anggota parlemen, kepala daerah, maupun presiden, partai-partai pemenang terbesar adalah partai yang berbasis nasional. Di partai-partai tersebut masyarakat Muslim Indonesia memiliki pengaruh besar namun tetap mengedepankan prinsip Pancasila yang mengakomodir aspirasi seluruh bangsa termasuk dari kelompok-kelompok non Muslim.
Isu kerja sama antarumat beragama dan pengembangan nilai-nilai multikulturalisme saat ini menjadi perhatian khusus Pemerintah Jerman. Bahkan Kemenlu Jerman beberapa waktu lalu membentuk departemen khusus untuk menangani isu ini, terutama dalam konteks penguatan diplomasi antar pemangku kepentingan. Jerman akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan puncak “Religion for Peace” yang akan berlangsung di Lindau, Jerman, Agustus mendatang.
Melalui seminar ini, Kemenlu Jerman ingin memperoleh masukan dari para peserta seminar, terutama dari narasumber Indonesia dan Azerbaijan, tentang langkah-langkah konkrit yang perlu dilakukan. Stigma bahwa Islam menjadi ancaman terhadap stabilitas masyarakat, khususnya dikaitkan dengan arus migrasi dari negara-negara Timur Tengah ke Jerman merupakan fakta yang berkembang di Jerman.
“Kita yang hadir di sini sangat paham bahwa stigma itu tidak benar dan perlu diluruskan. Namun kita perlu merumuskan apa yang perlu dilakukan untuk membantah dan memperbaiki kesalahpahaman masyarakat tersebut,” ujar Pendeta Dr. Nikodemus Schnabel dari Kemenlu Jerman yang bertindak selaku moderator seminar ini.
Sejumlah rekomendasi ditawarkan peserta, di antaranya, penguatan nilai-nilai multikulturalisme di masyarakat, penguatan dialog antar dan inter agama, dialog pemimpin agama dengan pemerintah, diseminasi tentang ajaran agama yang benar melalui pendidikan formal di sekolah dan universitas. Selain itu penting bagi para pemimpin agama untuk merumuskan mekanisme peringatan dini untuk mengidentifikasi dan mengatasi gerakan-gerakan radikalisme yang mengatasnamakan agama tertentu.
Sementara itu, Dubes Oegroseno menekankan KBRI Berlin sudah mulai melakukan beberapa butir rekomendasi tersebut. "Agustus mendatang, kita lakukan program interfaith scholarship untuk mengundang para tokoh di Jerman, untuk melihat langsung praktek Islam dan pluralisme di Indonesia. Kita juga telah melakukan pendekatan ke beberapa universitas dan Institute Teologi Islam yang ada di Jerman untuk kerja sama kurikulum Islam Indonesia dan kerja sama pelatihan para imam. Sekitar tujuh ribu WNI yang ada di Jerman juga kita dorong untuk menjadi agen diseminasi untuk toleransi antaragama dan konsep Islam Indonesia yang moderat dan damai kepada publik di Jerman, demikian Dubes Oegroseno.
.
Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019