"Dalam proses pemungutan suara (komputer/laptop) tidak tersambung ke jaringan apapun," kata Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik BPPT Andrari Grahitandaru kepada Antara usai simulasi pemilu elektronik di Gedung BPPT, Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan perlu dipahami bahwa peretasan terjadi ketika komputer/laptop berada di dalam jaringan (online) atau terhubung dengan jaringan tertentu.
Untuk implementasi pemilu elektronik, diperlukan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) guna mendorong pelaksanaannya secara menyeluruh mulai dari verifikasi elektronnik, pemungutan suara elektronik, penghitungan dan pengiriman hasil suara elektronik.
Andrari menuturkan teknologi pemungutan suara elektronik (e-voting) mempermudah pemilih dalam memilih dan lebih efisien karena tidak memerlukan lembaran kertas surat suara, dan memotong waktu untuk pembagian kertas suara, pelipatan dan pemasukan surat suara ke kotak suara.
Jaringan hanya dibutuhkan pada saat pengiriman hasil pemungutan suara dari tempat pemungutan suara langsung ke Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum.
Jika tidak ada jaringan WIFI maka bisa menggunakan modem yang ditempel pada komputer pemungutan suara, sehingga bisa langsung mengirim hasil pemungutan suara tepat waktu (real time) kepada KPU.
Proses pengirimannya berlangsung singkat, sehingga kecil kemungkinan ada peretasan. Jika sekalipun ada gangguan, maka bisa dilacak pengganggu lewat jejak digital karena saat ini teknologi sudah semakin canggih dan tim siber pemerintah juga semakin kuat.
Sama seperti para konsumen se-Indonesia yang melakukan transaksi dalam jaringan (online) di berbagai anjungan tunai mandiri secara bersamaan, dan tidak mengalami masalah akan hal itu. Demikian pula dengan implementasi proses pemungutan suara dan pengiriman hasil pemungutan suara.
Ketika proses pemungutan suara selesai, maka akumulasi hasil pemungutan suara di TPS itu langsung terekam dan dapat dicetak langsung melalui printer yang terhubung ke komputer, sehingga tidak ada indikasi "human error" seperti yang dikhawatirkan pada proses input manual ke sistem informasi penghitungan suara (Situng). Apalagi, identitas penginput data tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak ada tanda tangan digital pengiriman hasil pemungutan suara.
Pengiriman penghitungan suara elektronik yang dikembangkan BPPT berbeda dengan sistem informasi penghitungan suara (Situng) Komisi Pemilihan Umum. Pada situng, hasil penghitungan suara yang telah dihitung manual dan yang tertera di formulir C1 plano diinput oleh petugas ke Situng. Dikhawatirkan dalam proses input data C1 plano itu, ada kesalahan penginputan data oleh manusia ("human error").
Sebelumnya, Komisioner KPU Hasyim Asy'ari menjelaskan proses penghitungan perolehan suara pemilu dilakukan secara manual mulai dari tempat pemungutan suara (TPS) oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), tingkat desa/kelurahan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS), di kecamatan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), KPU kabupaten-kota, KPU provinsi hingga terakhir KPU RI.
Hasil penghitungan perolehan suara di TPS akan dicatat dalam Form C1, yang kemudian dikumpulkan ke tingkat kecamatan dan kabupaten untuk dipindai dan diunggah ke sistem informasi penghitungan suara atau Situng.
Sementara, pada pemilu elektronik, hasil pemungutan suara elektornik bisa langsung dikirim dari TPS ke KPU. Formulir plano hasil penghitungan suara yang bertanda tangan digital juga dapat diunggah langsung dari TPS melalui handphone android, sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan diketahui petugas yang menginput data hasil pemungutan suara.
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019