Pengamat perpajakan Bawono Kristiaji mengingatkan adanya tantangan terkait penetapan kebijakan maupun inisiatif dan tata cara dalam pemungutan pajak sektor ekonomi digital.Pertama, kita menghadapi kesulitan teknis dalam mendesain kebijakan yang mampu memberikan alokasi hak dan pembayaran pajak yang adil dari ekonomi digital
"Pertama, kita menghadapi kesulitan teknis dalam mendesain kebijakan yang mampu memberikan alokasi hak dan pembayaran pajak yang adil dari ekonomi digital," kata Bawono dalam pernyataan di Jakarta, Jumat.
Bawono mengatakan kesulitan teknis itu terkait pengubahan sistem pajak internasional yang berbasis pada kehadiran fisik dalam mengategorikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan pengalokasian laba yang mempertimbangkan kontribusi pembentukan nilai dampak digitalisasi.
Kemudian, Partner DDTC Fiscal Research ini menambahkan, tantangan lainnya adalah penyusunan aturan yang berkejaran dengan waktu karena sifat bisnis ekonomi digital sarat dengan perubahan yang cepat.
"Ketiga, banyaknya inisiatif aksi sepihak dari berbagai negara dalam memajaki ekonomi digital sesuai dengan kedaulatan fiskalnya. Berbagai aksi unilateral tersebut tentu membuat tantangan keempat, yaitu sulitnya mencapai konsensus di tingkat global," ujarnya.
Saat ini, opsi untuk memajaki ekonomi digital sedang dibicarakan di tingkat internasional dengan proposal yang diajukan OECD berisi dua inti ketetapan.
Ketetapan pertama adalah bertujuan untuk mengatur alokasi pemajakan secara lebih adil dengan memperluas hak pemajakan bagi yurisdiksi pasar melalui tiga alternatif pendekatan yaitu user participation, marketing intangibles, dan sufficient economic presence.
Ketetapan kedua adalah fokus atas ketersediaan global anti-base erosion and profit shifting (BEPS) yang selama ini mengiringi pemanfaatan ekonomi digital.
Saat ini, digitalisasi telah meningkatkan risiko BEPS terutama dari raksasa ekonomi digital yang bisa memperoleh penghasilan dari suatu negara tanpa membayar pajak secara adil kepada yurisdiksi tersebut.
Di Indonesia, persoalan mengenai pemajakan ekonomi digital telah tercermin dalam penerbitan PMK Nomor 210 Tahun 2018 yang dicabut akhir Maret lalu.
PMK tersebut pada dasarnya tidak memberikan kebijakan baru yang bersifat khusus, tetapi hanya berupa terobosan administrasi serta tatacara pemajakan bagi ekosistem perdagangan daring (e-commerce).
Menurut Bawono, beleid tersebut masih memiliki kekurangan, yaitu belum bisa menjamin level playing field atau kesetaraan antara perdagangan elektronik domestik dengan asing maupun juga platform online lainnya, kurang disusun secara partisipatif, serta menimbulkan biaya kepatuhan.
"Namun demikian, pencabutannya sangat disayangkan terutama karena kemampuan pemerintah dalam memperoleh data dan informasi untuk memetakan kepatuhan pajak akan lebih sulit," ujarnya.
Padahal, data dan informasi sangat krusial terutama dalam konteks ekonomi digital yang oleh OECD sering disebut sebagai ekonomi bayangan baru (new shadow economy).
Ia menegaskan ketiadaan kewajiban untuk mengumpulkan informasi transaksi dan identitas tersebut bisa menyulitkan pemerintah untuk memperluas basis pajak.
Di sisi lain, nilai transaksi e-commerce terus meningkat dan berpotensi menyumbangkan peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dengan kondisi ini, idealnya platform digital dapat ikut terlibat dalam peningkatan kepatuhan pajak dalam hal pemberian informasi kepada otoritas pajak maupun sebagai pihak yang mengedukasi.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019