Diskusi mengusung tema Ancaman Kebebasan Pers di Indonesia tersebut dilaksanakan di Gazebo IAIN Pontianak, dengan peserta sebagian besar merupakan mahasiswa yang berasal dari pers kampus pada beberapa Perguruan Tinggi di Kota Pontianak.
"Kebebasan pers di Indonesia dua tahun terakhir relatif stagnan, masih berada pada posisi 124 di dunia. Hal ini karena secara aturan masih ada undang-undang yang justru menjerat jurnalis agar bisa dipidanakan. Padahal jika ada orang yang dirugikan atau ada pihak yang bersengketa dalam pemberitaan, maka jalur penegakan hukumnya bukan lewat polisi, melainkan lewat Dewan Pers.," kata Ketua AJI Kota Pontianak Dian Lestari di Pontianak, Sabtu.
Menurut Dian, hal lain yang juga dapat melemahkan kebebasan pers, justru datang dari masyarakat dan ini terus menggejala. Apalagi saat ini masyarakat berada di era post-truth (setelah kebenaran) seiring kemajuan pesat teknologi informasi.
Gejalanya dapat dilihat dari perilaku sebagian masyarakat yang hanya ingin membaca berita yang sesuai dengan kemauannya dan menolak berita yang tidak sesuai kemauannya, meskipun berita itu mengungkap fakta sebenarnya dan menerapkan kaidah jurnalistik.
"Masyarakat seperti ini, menurut saya merupakan ancaman terhadap kebebasan pers karena tidak terbuka pada data, fakta dan analisa. Jadi mau seberapa pun bebasnya media massa, pers itu nggak akan berguna ketika masyarakatnya tidak percaya dan tidak mau belajar untuk mencari tahu kebenaran," kata Dian.
Di tempat yang sama, Jurnalis senior, Andi Fachrizal, yang juga menjadi pemateri mengisahkan tekanan psikologis yang dialaminya saat membuat laporan investigasi soal Camar Bulan yang heboh.
Tulisan berjudul Riwayat Beranda Rumah Yang Tergadai itu mengungkap pergeseran patok tapal batas negara di Dusun Camar Bulan, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, sehingga berpotensi menghilangkan wilayah Indonesia seluas 1,499 ha.
"Tantangan itu harus diterima. Seorang jurnalis itu bekerja dengan disiplin verifikasi tinggi, abaikan resiko apapun karena ini konsekuensi," tegas Andi.
Profesi jurnalis, kata Andi, tidak akan pernah lepas dari tekanan pihak luar yang ingin menciderai nilai-nilai kebebasan pers.
Ketua LPM Warta Farli Afif menilai diskusi seperti ini memang perlu sehingga pers mahasiswa mengetahui seperti apa tantangan yang dihadapi jurnalis di lapangan. Sebab untuk menyajikan berita yang memenuhi kaidah jurnalistik itu bukan perkara mudah, membutuhkan mental yang kuat karena kadangkala menerima tekanan secara psikis.
"Untuk menyajikan berita yang berdasarkan data, fakta itu sangat berat bagi pemula, jadi diskusi seperti ini memang perlu," kata Farli.
Sementara Wakil Rektor III IAIN Pontianak, Dr. Abdul Mukti Ro`uf, MA, mengapresiasi AJI yang mengadakan diskusi dengan menggandeng Pers kampus karena akan berdampak positif terhadap lingkungan kampus dan mahasiswa.
"Supaya kampus itu tidak terisolasi dari berbagai peristiwa yang ada di luar sana, karena kampus itu mengemban satu amanat sebagai agen perubahan sosial," kata Abdul Mukti.
Menurut Addul Mukti, diskusi tersebut menjadi kesempatan bagi para mahasiswa untuk mengeksplorasi berbagai pemikiran, gagasan, ide maupun kritik terhadap fenomena sosial yang terjadi saat ini. Sehingga mahasiswa tidak menjadi kutu buku dalam pengertian hanya mengurus dirinya sendiri, tapi tidak melek terhadap apa yang terjadi di lingkungan kampus.
"Dan teman-teman LPM, mudah-mudahan diskusi-diskusinya itu tidak hanya sebatas kalau ada isu-isu besar kemudian kita berkumpul dan berdiskusi. Tentu saya berharap betul bahwa teman-teman mahasiswa bisa menyelenggarakan diskusi-diskusi yang seperti ini, tanpa jarak antara narasumber dengan mahasiswa, dan interaksinya itu berjalan secara natural," katanya.
Pewarta: Rendra Oxtora
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019