Kisah Ironi di Hari Buruh

5 Mei 2019 13:53 WIB
Kisah Ironi di Hari Buruh
Suasana Kota Shanghai pada malam hari. (M. Irfan Ilmie)
Jalanan sudah mulai normal, sekolah sudah mulai ramai oleh kegiatan belajar dan mengajar, meskipun hari Minggu.

Pemerintah China telah mengeluarkan kebijakan bahwa libur Hari Buruh Internasional berlangsung selama empat hari, terhitung mulai Rabu, 1 hingga 4 Mei 2019. Perkantoran dan sekolah pun diliburkan selama empat hari, kecuali kantor perwakilan negara asing, termasuk Kedutaan Besar RI di Beijing yang hanya libur sehari pada Rabu (1/5/2019).

Libur Hari Buruh tahun ini di China lebih panjang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yang hanya satu hari, yakni pada 1 Mei, seperti di beberapa negara lain, termasuk Indonesia.

Wajar perpanjangan masa liburan Hari Buruh disambut suka cita oleh warga masyarakat yang tinggal di daratan Tiongkok itu.

Bahkan pada 30 April 2019 malam, suasana di kota-kota besar di China sudah ramai, ditambah cuaca yang sangat mendukung.

Tidak ada hujan disertai angin kencang seperti sepekan sebelumnya membuat pemilik restoran dan pusat perbelanjaan di China mulai panen rezeki pada malam itu.

Demikian pula taman dan fasilitas publik terbuka lainnya makin terlihat pamornya oleh banyaknya pengunjung.

Sedikitnya 2,2 juta orang setiap hari keluar-masuk sejumlah bandara di kota-kota besar China selama periode 1-4 Mei 2019 sebagaimana perkiraaan Badan Imigrasi Nasional setempat (NIA).

Sektor pariwisata China kembali mendapatkan limpahan berkah dari perpanjangan hari libur MayDay itu setelah awal bulan ini juga panen wisatawan libur Qingming pada 5-7 April 2019.

Terkatung-katung
Namun gemerlapnya Kota Shanghai yang bermandikan cahaya pada malam hari di awal musim libur panjang MayDay itu tidak memberikan kesan apa-apa bagi Waryanto.

"Kapal kami ditahan MSA (Badan Keamanan Laut) China," demikian pesan singkat dari kapten kapal Jixiang itu sambil memberikan peta posisi terakhirnya kepada Antara di Beijing, Selasa (30/4/2019).

Posisi sesuai peta pada saat itu berada di sekitar Pantai Shanghai, tapi tidak sedikit pun menyentuh daratan.

Kapal Jixiang berbendera Sierra Leone yang dioperasikan perusahaan pelayaran asal Taiwan itu mondar-mandir di selat yang memisahkan Pulau Yuanshazhen dengan daratan Shanghai.

"Kemarin sudah diproses oleh Imigrasi dan MSA Shanghai. Tapi bos lepas tangan dan tidak mau bertanggung jawab," kata kapten kapal yang namanya lengkap sesuai paspor tertulis Waryanto bin Riswad itu.

Bersama enam anak buah kapal (ABK) yang sama-sama berkewarganegaraan Indonesia, dia tidak tahu sampai kapan perusahaan tempatnya bekerja itu bersedia memenuhi tanggung jawabnya membayar denda kepada otoritas China yang menahan kapal tersebut.

Hampir tiga pekan ketujuh pelaut Indonesia itu terkatung-katung di perairan Shanghai. Mereka menunggu iktikad baik perusahaan yang mempekerjakan mereka menyelesaikan kasus tersebut.

Kapal yang mengangkut gula dari Taipei dan Taichung itu seharusnya menuju Hong Kong. Namun Waryanto selaku kapten kapal tidak mengerti, kenapa harus memutar haluan ke Shanghai.

Padahal jika melihat letak geografis, Hong Kong berada di sebelah baratdaya Taiwan, sedangkan Shanghai di sebelah utara.

Waryanto sempat ragu saat diperintah memutar haluan ke Shanghai yang berada di utara, padahal tugasnya memimpin perjalanan kapal menuju Hong Kong yang berada di baratdaya.

Keraguan itu akhirnya terjawab setelah kapalnya memasuki wilayah negara lain secara ilegal sehingga ditahan oleh otoritas China pada 17 April 2019.

Setelah diproses dan dikenai sanksi pembayaran denda, pihak perusahaan kapal mangkir. Malah memerintahkan Waryanto menjalankan kapal yang saat ini posisinya di dekat pantai Shanghai itu.

"Kami tidak mau karena itu sudah melanggar peraturan. Orang-orang kantor (pemilik kapal) kami tetap meminta kami memberangkatkan kapal tanpa surat-surat resmi. Saya menolak, takutnya masalah kami makin bertambah," ujar Waryanto.

Enam ABK pemegang paspor RI lainnya yang terkatung-katung di atas kapal, yakni Oskar Raya Bitan (31), Zainal Haris (41), Endrayanto (30), Setiawan Zem Rente (25), Azzumar Sajidin (32), dan Sahbri (27) itu dipekerjakan di Taiwan melalui agen pengerah tenaga kerja PT Maderland Crewing Agency yang beralamatkan di Koja, Jakarta Utara, sejak 7 Januari 2019.

Sementara Waryanto selaku kapten kapal diberangkatkan ke Taiwan oleh agen Vanguard Ship Management yang beralamatkan di Batam.

"Untuk berangkat kerja ke Taiwan saya juga harus membayar mahar sebesar 8 juta rupiah. Saya sudah lapor agen, malah disuruh ikuti saja apa maunya orang kantor," kata Waryanto.

Pihak perusahaan di Taiwan mengancam mereka tidak akan membayarkan gaji bulan ini dan menahan ijazah mereka jika tidak menuruti perintah menjalankan kapal yang saat ini sedang terjerat kasus hukum di wilayah daratan Tiongkok itu.

Waryanto bersama enam rekannya tidak pernah menduga jika ikhtiarnya mengais rezeki di negeri orang berakhir seperti ini.

Mereka merasa tersandera di tengah samudera, sedangkan pihak keluarga di Tanah Air harap-harap cemas akan nasib mereka.

Para pelaut itu seharusnya merayakan MayDay bersama para buruh lainnya dengan penuh suka cita. Namun mereka justru terombang-ambing di tengah lautan.

Sebentar lagi bulan puasa Ramadhan. Jika persoalan tersebut belum mendapatkan titik temu, maka dipastikan mereka berlebaran di tengah laut.

Sampai saat ini pihak perwakilan pemerintah RI, baik di Shanghai maupun di Taipei belum memberikan informasi perkembangan atas kasus yang mereka alami.

Pihak Konsulat Jenderal RI di Shanghai juga telah menjalin komunikasi dengan Waryanto dan pihak pemilik kapal.

"Kami masih terus berkoordinasi dengan ABK dan pemilik kapal," kata Pelaksana Fungsi Protokol dan Kekonsuleran KJRI Shanghai Muhammad Arifin.

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019