• Beranda
  • Berita
  • Harga minyak jatuh terendah tertekan kekhawatiran perdagangan AS-China

Harga minyak jatuh terendah tertekan kekhawatiran perdagangan AS-China

8 Mei 2019 06:15 WIB
Harga minyak jatuh terendah tertekan kekhawatiran perdagangan AS-China
Ilustrasi - Kilang minyak (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

...investor percaya kemungkinan kesepakatan perdagangan yang dicapai pada Jumat (10/5/2019) semakin berkurang

Harga minyak dunia ditutup pada level terendah dalam lebih dari sebulan pada akhir perdagangan Selasa (Rabu pagi WIB), karena keraguan baru atas kesepakatan perdagangan Amerika Serikat (AS) - China memicu kekhawatiran tentang pertumbuhan global dan ekspektasi bahwa stok minyak mentah AS bisa mencapai tertinggi baru 19-bulan.

Minyak mentah Brent untuk pengiriman Juli turun 1,36 dolar AS atau 1,9 persen, menjadi ditutup pada 69,88 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juni turun 0,85 dolar AS atau 1,4 persen, menjadi menetap pada 61,40 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.

Posisi penutupan tersebut merupakan harga terendah untuk Brent sejak 4 April dan WTI sejak 29 Maret.

"WTI telah tertekan turun selama beberapa minggu terakhir oleh beberapa peningkatan pasokan minyak mentah besar yang tak terduga," Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch, di Chicago, mengatakan dalam sebuah laporan.

Persediaan minyak mentah AS telah naik ke level tertinggi sejak September 2017 dan diperkirakan akan menambahkan 1,2 juta barel pekan lalu, menurut para analis dalam jajak pendapat Reuters.

Polling itu dilakukan menjelang laporan mingguan dari American Petroleum Institute (API), sebuah kelompok industri, pada Rabu pukul 16.30 waktu setempat (20.30 GMT) dan dari Badan Informasi Energi AS (EIA) pada pukul 10.30 waktu setempat.

Sementara itu, produksi minyak mentah AS diperkirakan akan naik ke level tertinggi sepanjang masa sebesar 12,5 juta barel per hari (bph) pada 2019 dari rekor 11,0 barel per hari pada 2018, menurut Prospek Energi Jangka Pendek EIA.

Presiden AS Donald Trump mengatakan pada Minggu (5/5/2019) bahwa ia akan menaikkan tarif barang-barang China senilai 200 miliar dolar AS dari semula 10 persen menjadi 25 persen pada Jumat (10/5/2019). Komentar itu menyeret pasar saham Asia dan AS lebih rendah.

"Aksi jual di pasar secara luas telah turun ke pasar minyak hari ini, menunjukkan bahwa investor percaya kemungkinan kesepakatan perdagangan yang dicapai pada Jumat (10/5/2019) semakin berkurang," kata Manajer Portofolio Investasi Energi Tortoise, Rob Thummel, di Leawood, Kansas.

Di sisi penawaran, pasar minyak tetap tegang dengan Amerika Serikat memperketat sanksi-sanksi terhadap ekspor minyak Iran dan berencana untuk menambah kekuatannya di kawasan pengekspor minyak utama dunia itu.

Pejabat AS pada Minggu (5/5/2019) mengumumkan bahwa pergerakan kelompok kapal induk dan satuan tugas pembom ke Timur Tengah dimaksudkan untuk melawan "ancaman-ancaman yang dapat dipercaya," tetapi Teheran membantah tindakan itu sebagai "perang psikologis."

Sanksi-sanksi AS telah mengurangi separuh ekspor minyak mentah Iran selama setahun terakhir menjadi kurang dari satu juta barel per hari (bph), dengan pengiriman ke pelanggan diperkirakan turun ke level 500.000 barel per hari pada Mei karena sanksi-sanksi diperketat.

Menteri Energi Amerika Serikat Rick Perry mengatakan bahwa Arab Saudi meningkatkan produksi minyaknya untuk memenuhi kebutuhan yang timbul dari sanksi-sanksi terhadap Iran.

Bank of America Merrill Lynch mengatakan pihaknya memperkirakan Arab Saudi "akan membawa kembali produksi minyak secara perlahan karena barel Iran keluar dari pasar", menambahkan bahwa mereka memperkirakan harga Brent di 70 dolar AS per barel dalam kondisi pasar saat ini.

Namun, beberapa analis meramalkan pembatasan produksi yang disetujui oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang dipimpin Saudi dan produsen lain seperti Rusia, akan terus meningkatkan harga.

"Kemunduran Brent baru-baru ini telah mengambil harga terlalu rendah dalam menghadapi fundamental yang ketat dan meningkatnya risiko pasokan, sama seperti kilang-kilang kembali dari pergantian musim semi yang panjang," kata Goldman Sachs seperti dikutip dari Reuters.

Baca juga: Dolar menguat dipicu beberapa data positif ekonomi AS

 

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019