"Kasus jutaan tenaga kerja asal Cina dan pernyataan Pak Wiranto akan menutup media massa merupakan bukti bahwa media massa sudah memakai medsos sebagai rujukan, padahal informasinya hanya berbasis 'talking news' dan bukan presisi (berbasis data/akurasi)," katanya di Denpasar, Kamis.
Dalam workshop "Peliputan Pasca-Pemilu oleh Media" yang diselenggarakan Dewan Pers dengan melibatkan Ketua KPU Provinsi Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan serta dihadiri organisasi media dan puluhan pimpinan redaksi media massa se-Bali itu, dia menjelaskan bahwa informasi tidak benar dari medsos akan dipercaya masyarakat bila dari media massa.
"Padahal, pernyataan Presiden Jokowi sesungguhnya adalah 'Pemerintah akan mendatangkan 10 juta wisatawan Cina'. Namun, dipelintir medsos menjadi 'Pemerintah akan mendatangkan 10 juta tenaga kerja Cina' dan celakanya pelintiran itu diambil media massa tanpa konfirmasi," katanya.
Akhirnya, pemerintah pun kelabakan untuk meluruskan dengan waktu yang cukup lama hingga lebih dari 2,5 bulan, termasuk pihak Imigrasi yang perlu menegaskan bahwa keluar masuknya WNA itu selalu memakai perizinan Imigrasi dan kedatangan 10 juta tenaga kerja Cina itu tidak benar adanya.
"Yang mengkhawatirkan informasi bantahan itu masih dipelintir oleh medsos bahwa Imigrasi ada di pihak pemerintah sehingga informasinya bisa dipertanyakan. Kalau lembaga resmi yang kompeten seperti Imigrasi saja tidak dipercaya, semuanya bisa kacau. Itulah akibat dari informasi medsos yang dipelintir tetapi justru dipakai media massa hingga bergulir ke mana-mana," katanya.
Hal yang sama juga terjadi pada pernyataan Menkopolhukam tentang rencana menutup media massa. "Informasinya sesungguhnya adalah 'Pemerintah akan menutup akun abal-abal yang menghina pejabat', tetapi dipelintir medsos menjadi 'Pemerintah akan menutup media massa yang menghina pejabat' sehingga menjadi ramai, padahal media massa itu urusan Dewan Pers. Kalau akun abal-abal, memang menjadi ranah Kemkominfo," katanya.
Terkait dengan pasca-Pemilu 2019, dia menilai media massa juga harus bersikap hati-hati dan tidak merujuk pada medsos. Hal itu justru akan merobohkan tatanan kenegaraan yang sudah ada dan hal itu akan merugikan bangsa dan negara.
"Pemilu itu mirip tinju. Kalau lawannya KO, akan selesai. Akan tetapi, kalau lawannya tidak KO, semua petinju akan merasa menang dan terkadang pelatih juga membenarkan petinju yang dilatihnya, padahal semuanya bukan ditentukan pelatih atau wasit, melainkan juri. Juri dalam tinju itu ada tiga orang yang menilai angka-angka dalam pertandingan," katanya.
Dalam Pemilu 2019, dia meminta media massa untuk menyelamatkan demokrasi dengan mendorong "hasil akhir" kepada juri, yakni KPU.
"Bukan kepada quick count dari lembaga survei, tim internal, atau pihak lain. Pihak yang berhak mengumumkan siapa pemenang dalam tinju adalah juri, dan siapa yang menang dalam pemilu adalah KPU," katanya.
Mengenai kelemahan dalam Pemilu 2019, dia menilai hal itu harus dipahami dalam konteks wilayah negara yang rumit dari laut, hutan, hingga gunung dengan jumlah 17.000-an pulau, lalu rentang waktu juga ada WIB, WITA, WIT.
"Oleh karena itu, agar tidak ada masalahnya, mestinya presiden itu cukup dipilih sekali saja, tetapi mungkin waktunya perlu 7 sampai 8 tahun agar programnya jalan," katanya.
Ia meminta media massa untuk berhati-hati dalam urusan tatanan kenegaraan dan tidak menjadi "pemain" karena saat ini hanya media massa mainstream yang dapat menjadi acuan untuk menyelamatkan bangsa dan negara.
"Kita masih bisa optimistis karena masih ada media massa yang berpihak pada publik," katanya.
Pewarta: Edy M. Yakub
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019