Imam Nahrowi yang bersaksi setelah sekitar 9 jam menunggu di ruang tunggu saksi pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta itu mengaku tidak mendapat laporan mengenai penggunaan dana hibah KONI dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
"Tidak ada dilaporkan karena itu sudah kewenangan kedeputian, sudah ada pelimpahan tugas, saya juga tidak tahu jumlah yang didisposisikan berapa," kata Imam di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/4).
Padahal, jaksa penuntut umum (JPU) KPK mendakwa Sekretaris Jenderal (Sekjen) KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum (Bendum) KONI Johny E Awuy sudah menyuap Deputi IV bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana, Asisten Olahraga Prestasi pada Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Adhi Purnomo dan Staf Deputi IV Olahraga Prestasi Kemenpora Eko Triyanta agar dapat memperlancar 2 proposal dana hibah yang diajukan oleh KONI.
Suap tersebut berupa satu unit mobil Fortuner, uang Rp400 juta dan satu unit ponsel Samsung Galaxy Note 9 untuk Mulyana dan uang Rp215 juta untuk Adhi dan Eko.
Tujuan pemberian suap adalah untuk meluluskan dua proposal KONI, pertama adalah proposal dana hibah tugas pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program Asian Games ke-18 dan Asian Para Games ke-3 pada 2018 yang cair senilai Rp30 miliar dan kedua, dana pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018 yang cair sejumlah Rp17,971 miliar.
Imam mengaku bahwa pengawasan dana hibah bukan menjadi tanggung jawabnya.
"Saya tidak tahu jumlah yang didisposisi dan tidak dilaporkan sedangkan pengawasan prestasi atlet tanggung jawabnya bertanya tapi penggunaan anggaran ditangani APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) dan ujungnya BPK (Badan Pengawasan Keuangan," ungkap Imam.
Pun mengenai pengawasan penggunaan uang, menurut Imam sudah dilimpahkan ke masing-masing deputi.
Bahkan Imam mengaku belum pernah menginjakkan kaki ke kantor KONI sejak menjabat sebagai Menpora pada 2014.
"Saya belum pernah ke kantor KONI Pusat sejak 2014 sampai sekarang," ungkap Imam.
Padahal dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK, Ending berkoordinasi dengan asisten pribadinya (aspri) Miftahul Ulum untuk menyiapkan "commitment fee" untuk pihak-pihak di Kemenpora yaitu sebesar 15-19 persen dari total nilai bantuan dana hibah.
Bahan Ulum sendiri yang menuliskan di kertas tisu mengenai besaran "commitment fee" yang diberikan dari dana "fee" tersebut. "Fee" itu pun termasuk untuk Menpora Imam Nahrawi sebesar Rp1,5 miliar, untuk Ulum sendiri sebesar Rp500 juta, Mulyana Rp400 juta dan masih ada 20 orang lain dari Kemenpora dan KONI yang masuk dalam daftar tersebut.
Imam juga membantah mengetahui daftar tersebut dan tentu membantah memerintahkan Ulum untuk mengawal proposal yang masuk ke Kemenpora.
"Tidak (mengawal proposal), saya tidak pernah memberikan tugas selain tugas dia sebagai asisten pribadi. Proposal biasanya setelah ditelaah diambil sekretariat diteruskan ke deputi," ungkap Imam.
Imam mengaku tidak tahu dari mana Ulum mengetahui proposal-proposal di Kemenpora.
"Saya tidak tahu dari mana Ulum tahu, tapi tugas dia memang mengarsipkkan," tambah Imam.
Hubungan Imam-Ulum sesungguhnya terjalin jauh sebelum Imam menjabat sebagai menteri yaitu saat menjabat sebagai ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa pada sekitar 2011.
Imam mengaku kenal Ulum dari salah satu temannya di Tulungagung bernama Khoirudin, sedangkan Ulum adalah supir Khoirudin, namun karena Imam menjabat sebagai ketua, ia kerap di antar oleh Ulum dan karena Ulum dinilai baik dan bisa melakukan tugas koordinasi penjadwalan maka ia pun diajak menjadi aspri pada 2014.
Lebih lanjut mengenai penggunaan uang, Wakil Bendahara KONI Lina Nurhasanah mengaku pernah dititipkan uang sejumlah kurang lebih Rp300 juta oleh Ending pada 2016. Lina diinstruksikan oleh mantan Sekretaris Kemenpora Alfitra Salamm agar membawa uang tersebut ke Surabaya dan menyerahkannya pada Ending Fuad Hamidy dan Alfitra Salamm di Surabaya untuk Muktamar NU di Jombang yang juga dihadiri oleh Imam Nahrawi. Uang diserahkan Alfitra dan diterima oleh Ulum.
Atas hal tersebut Imam pun membantah dan mengatakan tidak pernah merasa menerima bantuan tersebut.
"Muktamar NU tahun 2015, bukan 2016 saya tidak pernah merasa menerima bantuan itu," ucap Imam.
Namun, Imam mengakui bahwa ia menggunakan anggaran Kemenpora untuk kepentingan pribadinya yaitu menunaikan ibadah umrah pada November 2018.
Awalnya ia diundang Federasi Paralayang Asia ke Jeddah dan selanjutnya diajak Pengurus Cabang Nadhlatul Ulama (PCNU) untuk melakukan umrah.
"Siapapun muslim sampai ke Jeddah sekalian melaksanakan ibadah umrah," ungkap Imam.
Ia berangkat dalam rombongan besar karena empat deputi Kemenpora beserta bawahan masing-masing ikut mendampingi Imam.
"Kalau saya menggunakan anggaran Sekretariat Kemenpora, sedangkan untuk keberangkatan deputi menggunakan anggaran kedeputian masing-masing, semua deputi ada untuk umrah," jelas Imam.
Senada dengan Imam, Ulum dalam sidang pada 25 April 2019 membantah seluruh penerimaan uang tersebut.
"Saya tidak pernah merasa menerima, saya tidak pernah bertemu bu Lina di KONI," kata Ulum pada Kamis (25/4)
Ulum juga membantah pernah menerima uang saat melangsungkan ibadah umrah.
"Ada menerima di Madinah, Mekkah dan di Jeddah, 27 November 2018 transaksi Rp1,5 juta di Madinah, 27 November 2018 dilakukan Nuryshid Rp50 juta, 28 November 2018 Mekkah Rp510 ribu, 28 November transkasi Rp6,2 juta di Jeddah?" tanya jaksa.
"Saya tidak merasa menerima, tidak menggunakan juga," ucap Ulum.
Menurut Johny E Awuy, memang Ulum tidak akan mengakui penerimaan uang itu.
"Saat malam kami diperiksa di KPK, ada saya, Pak Ending, Ulum dan Bu Lina, Ulum mengatakan tidak akan mengaku karena menurut dia Menpora pasti membantu kita, kita pasti dihukum tapi hanya akan dihukum ringan jadi sampai kapan pun Ulum tidak akan mengaku," ungkap Johny.
Penegasan KPK
Atas bantahan-bantahan Imam tersebut, JPU KPK meminta majelis hakim tidak mempertimbangkan bantahan Imam Nahrawi tersebut.
"Saksi Imam Nahrowi membantah dirinya memerintahkan dan mengetahui terkait penerimaan uang tersebut. Terkait bantahan yang diberikan oleh para saksi tersebut kiranya menurut pendapat kami selaku penuntut umum haruslah dikesampingkan," kata JPU KPK Ronald Worotikan dalam sidang pembacaan tuntutan pada Kamis (9/5).
Menurut jaksa, di persidangan terungkap fakta Ending disarankan oleh Deputi IV Kemenpora Mulyana dan Adhi Purnomo untuk berkoordinasi dengan Miftahul Ulum selaku asisten pribadi Imam Nahrowi terkait jumlah komitmen "fee" yang harus diberikan oleh KONI Pusat kepada pihak Kemenpora RI agar bantuan dana hibah dari Kemenpora RI kepada KONI segera dicairkan.
Setelah Ending berkoordinasi dengan Ulum, disepakati besaran komitmen "fee" kepada pihak Kemenpora RI kurang lebih sebesar 15-19 persen dari total bantuan dana hibah yang diterima KONI.
Sebagai realisasi "fee" maka Ending dan Johny secara bertahap menyerahkan sejumlah uang yang seluruhnya berjumlah Rp11,5 miliar yang diberikan Ending dan Johny kepada Ulum selaku asisten pribadi Menpora ataupun melalui Arief Susanto selaku orang suruhan Ulum.
Tahapan pemberian itu adalah pertama, pada Maret 2018 Ending menyerahkan Rp2 miliar kepada Ulum di gedung KONI Pusat lantai 12.
Kedua, pada Februari 2018 Ending menyerahkan Rp500 juta kepada Ulum di ruang kerja Ending di lantai 12 KONI Pusat.
Ketiga, Juni 2018 Johny E Awuy menyerahkan uang sejumlah Rp3 miliar kepada suruhan Ulum yaitu Arief Susanto selaku staf protokoler Kemenpora Ri di lantai 12 gedung KONI Pusat.
Keempat pada Mei 2018, Ending menyerahkan uang sebesar Rp3 miliar kepada Ulum di ruang Ending di lantai 12 gedung KONI Pusat.
Kelima, sebelum lebaran 2018, Ending memberikan uang sejumlah Rp3 miliar dalam bentuk mata uang asing kepada Ulum di lapangan tenis Kemenpora dan uang itu ditukarkan Johny atas perintah Ending sekitar beberapa hari sebelum lebaran.
"Menurut pandangan kami penuntut umum, dari adanya keterkaitan antara bukti satu dengan yang lain menunjukkan adanya bukti dan fakta hukum tentang adanya keikutsertaan dari para saksi tersebut dalam suatu kejahatan yang termasuk dalam permufakatan jahat yang dilakukan secara diam-diam atau dikenal dengan istilah 'sukzessive mittarterscraft'," ujar jaksa.
Alasannya adalah keterangan saksi hanya berdiri sendiri dan tidak didukung alat bukti sah lainnya.
Bantahan tersebut, menurut jaksa, hanya usaha pembelaan pribadi Imam, Ulum dan Arief agar tidak ikut terjerat dalam perkara ini mengingat adanya keterangan saksi Ketua KONI Pusat Valentinus Suhartono Suratman yang dalam keterangannya saat diputar rekaman percakapan mengakui dirinya berbicara dengan Adhi Purnomo dan Eko Triyanta pada 13 November 2018 yang membicarakan agar Asian Games 2018 berjalan sukses dan ternyata sampai November 2018 masih ada kendala dan hambatn.
Suhartono Suratman dalam pertemuan ini berharap agar Miftahul Ulum dapat memberikan masukan kepada Menpora agar proposal Wasping I dapat disetujui dan dicarikan.
Johny E Awuy juga pernah melakukan transfer kepada Miftahul Ulum saat Johny ada di Papua dan Ulum ada di Jeddah. Johny mentransfer Rp20 juta lalu saat kembali ke Jakarta Johny melapor ke Ending dan mentransfer lagi Rp30 juta sehingga total yang ditransfer ke Miftahul Ulum adalah Rp50 juta sekira akhir November-awal Desember 2018.
Penarikan dilakukan oleh Miftahul Ulum pada akhir November 2018 saat sedang mendampingi Imam Nahrowi terkait undangan federasi paralayang di Jeddah sekaligus melaksanakan ibadah umroh bersama dengan Imam Nahrowi dan beberapa pejabat kemenpora RI.
"Namun, di depan persidangan saksi Miftahul Ulum dan saksi Arief Susanto memberikan bantahan bahwa mereka tidak pernah datang ke kantor KONI Pusat dan tidak pernah menerima pemberian uang sejumlah total Rp11,5 miliar sebagaimana keterangan Ending Fuad Hamidy, Eni Purnawati, supir Ending yaitu Atam yang diperkuat oleh pengakuan Johny E Awuy terkait adanya pemberian jatah komitmen 'fee' secara bertahap yang diterima oleh Mihtahul Ulum dan Arief Susanto guna kepentingan Menpora RI yang seluruhnya sejumlah Rp11,5 miliar haruslah dikesampingkan," tegas jaksa Ronald.
Jadi mampukah JPU KPK meyakinkan majelis hakim agar bantahan Menpora Imam Nahrawi dapat dimentahkan? Hal itu baru terjawab pada 20 Mei 2019 saat majelis hakim membacakan putusan.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019