Wani adalah kosakata bahasa Jawa yang berarti berani. Jargon itu dipinjam CLS dari saudara sekota mereka, Persebaya Surabaya, yang sudah menjadi identitas klub sepak bola Kota Pahlawan tersebut.
Tapi, berani saja tidak cukup menjadi modal untuk CLS menghadapi laga penentuan hidup dan mati, ketika mereka menjamu Singapore Slingers dalam gim keempat final ABL di GOR Kertajaya, Surabaya, Sabtu petang.
Tidak juga jargon berbahasa Inggris mereka, We Believe, atau jika diterjemahkan dalam kearifan lokal hampir setara dengan Sing Penting Yakin. Keyakinan dan keberanian tentu diperlukan, tapi itu akan menjadi sia-sia jika CLS tak membenahi buruknya koordinasi pertahanan mereka dan tumpulnya lini serang mereka secara bersamaan di gim keempat.
Buruknya koordinasi pertahanan menjadi alasan kekalahan mereka di gim kedua yang digelar di markas Slingers di OCBC Arena, Singapura, pada akhir pekan lalu. Selang tiga hari kemudian, tumpulnya lini serang praktis menjadi alasan CLS gagal menang meski tampil di kastil kebanggaan mereka.
Dua hal itu harus dipastikan tidak terjadi lagi di gim keempat, jika CLS tidak mau membiarkan Slingers menggelar pesta gelar juara di Kertajaya.
Shooting guard lokal CLS, Sandy Febiansyakh Kurniawan, tetap menyuarakan optimismenya bahwa mereka masih bisa memetik kemenangan untuk menyamakan kedudukan final menjadi 2-2 dan memaksakan gim kelima digelar di OCBC Arena, Rabu (15/5) nanti.
"Ini pertandingan do or die. Yakin saja. Saya dan kawan-kawan masih percaya kami bisa menang di gim keempat, kami harus buat mereka (Slingers) menjadi finalis saja," kata Sandy selepas sesi latihan di Kertajaya, Jumat (10/5) pagi.
Yang tak boleh terulang
Setelah cuma menang lima kali dari 20 pertandingan musim reguler 2017-2018 dan berakhir di urutan ketujuh klasemen akhir, CLS menorehkan peningkatan luar biasa di ABL musim ini.
Tim asal Surabaya itu melompat ke urutan keempat klasemen akhir musim reguler dengan merengkuh 15 kemenangan dan 11 kekalahan (15-11) untuk lolos ke fase playoff. Di fase playoff CLS merintis langkah mereka dengan penuh perjuangan untuk mencapai final, menyingkirkan wakil Vietnam Saigon Heat lewat tiga laga dan tim Thailand Mono Vampire Basketball juga dengan jumlah pertandingan yang sama.
Berhadapan dengan Slingers di final, CLS juga memulai dengan mengantongi kemenangan meyakinkan di gim pertama di OCBC Arena yang berkedudukan akhir 86-67 atas tuan rumah.
Sayangnya, kemenangan itu gagal diulangi ketika gim kedua digelar. Padahal, CLS mendapat suntikan tenaga dengan kembalinya pemain yang absen di gim pertama, sebagaimana hal sama juga terjadi di kubu Slingers.
Di kubu CLS terdapat Wong Wei Long yang absen sama sekali di gim pertama, sedangkan Slingers kembali diperkuat impor mereka Jerran Young yang banyak menepi karena cedera hamstring di laga sebelumnya.
Terlepas dari disparitas kontribusi antara Wei Long dan Young untuk timnya masing-masing, yakni tiga poin berbanding 14 poin, koordinasi pertahanan menjadi pembeda utama antara Slingers dan CLS di gim kedua.
Pertahanan tebal Slingers sukses memaksa CLS cuma bisa meraup delapan poin balasan sepanjang laga, sedangkan tuan rumah meraup 23 poin balasan dari tiap kali tamunya mencetak poin.
Koordinasi pertahanan yang disiplin Slingers juga membuat CLS 20 kali kehilangan bola sepanjang gim kedua, hampir tiga kali lipat dibanding tujuh kali di gim pertama. Slingers menang 86-67 untuk menyamakan kedudukan menjadi 1-1.
Saat kembali ke kandang sendiri untuk gim ketiga, CLS cukup berhasil mengatasi masalah buruknya pertahanan, namun persoalan lain muncul dalam bentuk lini serang yang tumpul.
Secara tingkat akurasi tembakan terbuka di gim ketiga, CLS melesakkan 32 persen, sedikit lebih buruk dibandingkan 33 persen milik Slingers. Namun, dari 67 persen tembakan terbuka CLS yang terbuang, banyak di antaranya merupakan situasi yang seharusnya bisa menghasilkan poin sangat mudah.
Ironisnya, hal itu terjadi di kastil mereka sendiri, Kertajaya, yang sukses menjadi latar kemenangan beruntun bagi CLS di enam laga sebelumnya.
Buruknya akurasi tembakan terbuka CLS sialnya juga dibarengi dengan problem eksekusi lemparan terbuka yang sudah menjadi masalah sejak gim kedua. Di gim kedua, CLS cuma meraih lima poin dari sembilan kesempatan lemparan bebas atau setara 55 persen dan di gim ketiga, yang kian memburuk menjadi 46 persen atau hanya meraih enam poin dari 13 kesempatan.
Jika saja CLS bisa empat dari tujuh kesempatan yang gagal berbuah poin, sudah tentu mereka tak menelan kekalahan 60-63 di gim ketiga, yang membuat Slingers berbalik unggul 2-1 di final. Hal itu membuat Slingers hanya butuh satu kemenangan lagi untuk merengkuh trofi juara ABL pertama mereka dalam penampilan ketiga di final.
Slingers menggelar pesta juara di Kertajaya tentu bukan hal yang diinginkan oleh CLS, sebagaimana diakui oleh sang pelatih Brian Rowsom.
"Saya tidak ingin Slingers merayakan kemenangan di sini. Jadi kami wajib merebut gim keempat dan lantas membuat mereka tertekan di pertandingan terakhir," ujar Rowsom selepas memimpin sesi latihan pagi di Kertajaya, Surabaya, Jumat (10/5).
Tentu saja, agar ambisi Rowsom terwujud, CLS tidak boleh mengulangi kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan di gim kedua dan ketiga saat menjamu Slingers petang nanti.
Menerjemahkan strategi di lapangan
Di gim ketiga, CLS tampil begitu lambat terutama dalam transisi bertahan ke menyerang. Sesuatu yang cukup aneh bisa terjadi di tengah keriuhan dukungan dari pasukan tutup panci Knights Society --sebutan suporter mereka-- di Kertajaya.
Sang point guard, Douglas Herring, kerap menunda dalam meluncurkan serangan bahkan ketika CLS dalam posisi tertinggal, Dalam beberapa kesempatan ia bahkan mengabaikan permintaan umpan dari Wei Long ataupun rekan-rekannya yang lain ketika posisi CLS sudah terdesak. Sesuatu yang menjadi bumerang.
Rowsom menyadari masalah-masalah di gim ketiga tersebut dan menekankan pentingnya untuk tampil tanpa dibebani hal serupa di gim keempat demi mewujudkan ambisi meraih kemenangan.
Mulai dari akurasi tembakan terbuka yang buruk, fastbreak yang lambat hingga terbuangnya kesempatan lemparan bebas, Rowsom melihat itu semua.
"Kemarin kami kehilangan 24 poin karena gagal mengeksekusi tembakan terbuka dengan baik, bahkan kerap kehilangan easy shoot," kata Rowsom.
Ia juga ingin CLS tampil lebih cepat demi melucuti stamina pemain Slingers, tentunya sembari mengakhiri serangan dengan baik.
"Karena salah satu ciri khas kami adalah bermain fastbreak. Pemain juga harus fokus dalam mengeksekusi lemparan bebas, karena itu sangat penting," katanya.
"Saya juga berpesan kepada para pemain untuk bermain lebih agresif dan jangan terlambat panas terutama saat main di kandang," ujar Rowsom lagi.
Jelas sudah, Rowson berhasil mendiagnosa permasalahan yang harus diatasi oleh CLS agar bisa memenangi gim keempat. Namun, semuanya akan kembali pada para pemain yang berlaga di lapangan untuk menerjemahkan strategi dan instruksi Rowsom.
Herring harus bisa mengembalikan kegesitannya yang terlihat di sepanjang musim, demikian juga Maxie Esho perlu membuktikan diri sebagai mesin poin utama CLS lagi. Sementara Darryl Watkins harus bisa menegaskan kendalinya di bawah ring, meski berhadapan dengan Pemain Bertahan Terbaik ABL musim ini John Fields.
Wei Long juga harus menemukan kembali performa terbaiknya sebagai penempat tripoin paling jitu di ABL. Brandon Jawato harus bisa membuktikan gelar yang ia labeli ke dirinya sendiri sebagai Raja Layup. Di waktu bersamaan, pertahanan CLS harus bisa meredam ledakan penampilan Pemain Impor Terbaik ABL musim ini, Xavier Alexander.
CLS harus bisa menggali kembali penampilan mereka ketika membekap Macau Black Bears di musim reguler berbekal 22 tembakan tripoin yang melesak, rekor tripoin terbanyak dalam laga ABL sepanjang sejarah.
Jika semua bahan yang dibutuhkan dalam ramuan terbaik untuk meredam Slingers itu bisa didapatkan, sudah tentu wani dan believe tidak akan sekadar berakhir jadi slogan semata, sekaligus memperpanjang asa mereka untuk meraih trofi ABL.
Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2019