Konvensi Basel adalah suatu perjanjian yang mengontrol pergerakan sampah dan limbah berbahaya beracun dari satu negara ke negara lain.
Amandemen yang disetujui di Perserikatan Bangsa Bangsa ini mensyaratkan produsen Sampah Plastik Besar harus mendapatkan persetujuan negara penerima sebelum mengekspor sampah beracun mereka ke negara-negara di dunia bagian selatan.
Founder Lembaga ECOTON (Ecological Observation and Wetlands Conservation) Prigi Arisandi mengatakan melalui siaran pers pada Senin mengatakan untuk Indonesia, amandemen Konvensi ini akan dapat mengurangi pencemaran di lautan dan di lapangan.
Pihaknya juga akan mendukung amandemen konvensi ini dengan melanjutkan pemantauan perdagangan sampah plastik dan mendorong pemerintah untuk mengelola dan mengontrol sampah plastik yang diimpor dengan baik.
"Kami mengimbau negara-negara pengekspor sampah plastik untuk menaati kewajiban mereka untuk mengelola sampah di negeri sendiri dan tidak membuangnya di negara-negara belahan Selatan dan pemerintah Indonesia untuk memperketat pengaturan dan Bea Cukai memperkuat kontrol masuknya sampah plastik," kata Prigi.
Pandangan positif lain disampaikan oleh Co-founder, BaliFokus/Nexus3 Foundation Indonesia Yuyun Ismawati. Menurut Yuyun amandemen ini dapat mengubah permainan perdagangan plastik dan memaksa semua negara untuk menetapkan standar yang lebih tinggi untuk mengelola sampah plastik dengan baik.
"Plastik yang mengandung bahan berbahaya beracun yang dibuang oleh masyarakat kaya di negara lain tidak akan mencemari dan membebani masyarakat miskin di negara lain," ucap dia.
Sebelumnya, pada 10 Mei 2019, sejumlah 187 negara mengambil satu langkah besar untuk mengendalikan krisis perdagangan plastik dengan memasukkan plastik ke dalam Konvensi Basel.
Amandemen dalam Perjanjian Basel akan meminta eksportir untuk memperoleh persetujuan dari negara penerima sebelum limbah yang tercemar, bercampur atau sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang dikirimkan ke negara tujuan.
Amendemen ini dinilai sebagai perangkat yang penting bagi negara-negara di belahan Selatan untuk menghentikan pembuangan sampah plastik yang tidak diinginkan di negara-negara maju ke negara-negara berkembang.
Setelah Cina melarang importasi hampir semua jenis plastik pada tahun 2018, negara-negara berkembang, khususnya di Asia Tenggara, menerima kiriman sampah plastik yang tercemar dan campuran limbah plastik berlimpah yang sulit atau bahkan tidak memungkinkan untuk didaur ulang.
Proposal Norwegia dalam bentuk amandemen Konvensi Basel membantu negara-negara berkembang untuk menggunakan hak mereka untuk menolak menerima sampah plastik yang tak diinginkan dan tidak dikelola di negara lain.
Keputusan ini mencerminkan pengakuan atas situasi sampah plastik dan dampak dari perdagangan plastik di seluruh dunia.
Banyak negara-negara yang menyatakan dukungan mereka terhadap proposal Norwegia ini dan lebih dari satu juta tandatangan dari seluruh dunia mendukung dua petisi publik lewat platform Avaaz dan SumOfUs.
Namun demikian meski dukungan melimpah, ada beberapa negara yang menentang masuknya sampah plastik ke dalam Annex II Konvensi Basel.
Negara-negara ini antara lain adalah Amerika Serikat, negara pengekspor sampah plastik terbesar di dunia; Konsil Kimia Amerika (American Chemistry Council), suatu kelompok pelobi dari industri petrokimia yang berpengaruh; dan Lembaga Industri Daur ulang Skrap (Institute of Scrap Recycling Industries), sebuah asosiasi pebisnis perantara (broker) limbah.
Mengingat Amerika Serikat bukan negara pihak dari Konvensi Basel (tidak meratifikasi Basel), maka konsekuensinya Amerika Serikat tidak akan diizinkan untuk melakukan perdagangan sampah plastik dengan negara-negara berkembang yang menjadi negara pihak dari Konvensi Basel tetapi bukan anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).*
Baca juga: Pegiat berbagi kiat Ramadhan ramah lingkungan nol sampah
Baca juga: 23 kota/daerah berkomitmen pangkas 87.000.000 ton sampah
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019