"Ibu kota baru bisa dibagi dalam lima zonasi yang jelas. Zona pertama yang berada di pusat diperuntukkan bagi kantor dan instalasi pemerintahan, di susul dengan zona diplomatik dan perwakilan internasional. Zona ketiga merupakan wilayah pendukung yang terdiri dari wilayah péndidikan, kesehatan, olahraga, dan lainnya," ujar seorang mahasiswa President University, Luh Devany Trishnaputri Wijaya dalam diskusi di Jakarta, Rabu.
Dia menambahkan zona keempat dan ke lima merupakan wilayah pemukiman berbagai tipe dengan fasilitas umum dan sosial. Seluruh zona harus terhubung dengan infrastruktur yang baik.
Ia menambahkan, dengan adanya ibu kota baru akan menimbulkan dampak bagi lingkungan sekitar, karena diikuti dengan perpindahan sumber daya manusia.
“Perpindahan itu diikuti dengan pertumbuhan permintaan warga yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan kegiatan perekonomian," kata dia lagi.
Mahasiswa President University lainnya, Natalia Tamara Hamdali, mengatakan pemindahan ibu kota tidak hanya menyangkut persoalan teknis, namun juga proses politik.
Hal itu dikarenakan Jakarta sebagai Ibu kota Negara tercakup dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1964 tentang pernyataan DKI Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan Nama Jakarta. Selain itu, fungsi Jakarta sebagai ibu kota dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Dengan demikian, pemindahan ibu kota baru memerlukan suatu undang-undang baru, yang melibatkan proses politik antara pemerintah dengan DPR. Tapi lebih luas, proses politik itu tidak hanya sebatas pada tataran legislasi, tapi pada komitmen politik untuk mengawal kesepakatan yang akan dicapai,” kata Tamara.
Tamara menambahkan, pada konteks keindonesiaan, pemindahan ibu kota ke luar Jakarta yang berada di Pulau Jawa merupakan langkah untuk menepis anggapan adanya kecenderungan Jawasentris dalam pembangunan Indonesia. Pada tataran tertentu, hal ini menimbulkan dampak politis yang sangat kuat, yaitu adanya suatu wajah baru Indonesia yang selama ini kerap disebut sebagai terlalu bertumpu pada berbagai proses di Pulau Jawa.
Sementara itu, pendiri President University SD Darmono mengatakan pemindahan ibu kota ataupun pusat pemerintahan haruslah dilakukan dengan hati-hati karena sejumlah negara banyak yang gagal memindahkan ibu kota negara itu.
"Contohnya Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, namun pegawai negerinya tetap tinggal di Kuala Lumpur karena anak dan istrinya di sana," kata Darmono.
Negara lainnya seperti Brazil yang memindahkan ibu kotanya juga belum berhasil sepenuhnya, karena pemindahan ibu kota tidak memiliki dampak pada perekonomian. Menurut Darmono yang juga penting dilakukan adalah membangun kota-kota bisnis, yang tentunya memiliki dampak pada lingkungan di sekitarnya.
Pewarta: Indriani
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019