Palu (ANTARA News) - Dero, tarian dengan formasi melingkar yang diikuti ratusan orang, dikenal masyarakat Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), sebagai tarian perdamaian.
Sudah delapan tahun lebih warga Poso merindukan tarian itu. Selama itulah aparat keamanan melarang pagelaran tarian itu karena alasan keamanan.
Kini pada Festival Danau Poso ke-11, Dero kembali digelar dan dipertontonkan meski hanya beberapa jam saja.
"Masyarakat berbagai suku dan agama bersatu padu kembali. Mereka nampaknya sudah melupakan konflik yang terjadi selama ini," kata Vega Silviana, warga Tentena, Poso, Selasa.
Peserta tari tersebut juga saling berpegangan tangan yang menandakan rasa persatuan dan persahabatan, meski sebelumnya tidak saling mengenal.
Dero biasanya dilakukan pada malam hari, seusai warga menghadiri acara pesta pernikahan atau acara lainnya.
Bahkan hingga menjelang matahari terbit, Dero masih tetap berlanjut. Tarian itu biasanya diiringi musik organ tunggal dengan dua penyanyi. Penyanyinya umumnya juga melantunkan lagu berbahasa daerah atau lagu populer lainnya dengan iringan irama agak cepat.
Tempo lagu yang agak cepat membuat penari Dero lebih bersemangat, bergoyang sambil berputar serah jarum jam atau sebaliknya.
Vega Silviana, menambahkan Dero juga berfungsi untuk mencari kenalan baru.
Dalam Dero, katanya, setiap orang bisa bebas masuk ke dalam lingkaran dan langsung menggandeng tangan. "Kita tidak pernah keberatan, soalnya tujuan Dero adalah untuk bergembira dalam suasana persahabatan yang kental," ujarnya.
Dia mengaku tidak mengetahui kapan Dero pertama kali dilakukan. "Dero sudah ada sejak saya kecil. Bahkan, beberapa daerah di Sulteng Dero juga dilakukan," kata gadis berusia 20 tahun itu.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007