Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI Mohamad Nasir meninjau lokasi pengembangan bahan bakar minyak nabati jenis gasoil atau solar di Kilang Minyak Pertamina RU II Dumai, Riau, Kamis.Pengembangan BBM nabati ramah lingkungan ini dilakukan dengan sistem co-processing atau pengolahan bahan bakar dengan penggabungan bahan baku minyak fosil dan bahan baku minyak nabati.
Pengembangan BBM nabati ramah lingkungan ini dilakukan dengan sistem co-processing atau pengolahan bahan bakar dengan penggabungan bahan baku minyak fosil dan bahan baku minyak nabati.
Proses itu dilaksanakan dengan menggunakan katalis berteknologi tinggi hasil pengembangan yang dilaksanakan di Research and Technology Center Pertamina bersama Institut Teknologi Bandung.
Sebelumnya, Pertamina telah menjalankan inovasi dalam pengembangan BBM nabati jenis gasoline (minyak bensin) melalui sistem co-processing di Kilang Refinery Unit (RU) III Plaju, Sumatera Selatan,
General Manager Pertamina RU II Dumai Nandang Kurnaedi mengatakan, implementasi proses pengolahan BBM nabati di Kilang RU II Dumai merupakan batu loncatan besar dalam hal perkembangan teknologi di Indonesia sekaligus mendorong pengurangan impor minyak mentah.
"Kami berbangga hati anak bangsa dapat menciptakan katalis yang selama ini didapatkan dari luar negeri, setelah melalui beberapa tahun penelitian, Katalis Merah Putih siap digunakan," kata GM Nandang mendampingi Menristekdikti dan Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Kadarsyah Suryadi.
Dijelaskan, pengembangan katalis ini telah dilakukan sejak 2008 hingga terciptanya katalis generasi kedua yang telah secara optimal menjadi elemen pendukung co-processing di Kilang RU II.
CPO digunakan adalah jenis crude palm oil yang telah diolah dan dibersihkan getah serta baunya atau dikenal dengan nama Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) yang dicampur dengan sumber bahan bakar fosil di kilang dan diolah dengan proses kimia sehingga menghasilkan bahan bakar solar ramah lingkungan.
Setelah berhasil menciptakan katalis, pengolahan CPO dilakukan di fasilitas Distillate Hydrotreating Unit (DHDT) yang berada di kilang Pertamina Dumai, berkapasitas 12.6 MBSD (Million Barel Steam Per Day).
"Penggantian katalis lama dengan versi baru ciptaan dalam negeri mulai dijalankan pada Februari 2019. Injeksi bahan baku minyak nabati pun mulai dilaksanakan pada Maret 2019," sebutnya.
Menristekdikti Mohamad Nasir menjelaskan dengan penggunaan 10 hingga 12 persen feed dari minyak nabati, negara dapat menghemat biaya yang dikeluarkan untuk mengimpor minyak mentah hingga 1,6 juta dolar AS per tahun.
Program diharapkan dapat terus dikembangkan sehingga serapan minyak nabati di kilang Pertamina dapat semakin meningkat. "Serapan 10 persen saja negara sudah bisa berhemat banyak, dan ke depan semoga bisa lebih meningkat," kata Nasir.
Baca juga: Indonesia berpotensi penghasil energi nabati terbesar di dunia
Baca juga: BPPT: BBN lebih murah dari BBM
Pewarta: Abdul Razak
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019