• Beranda
  • Berita
  • Mimbar dan beduk jadi sisa sejarah di Masjid Jami Banjarmasin

Mimbar dan beduk jadi sisa sejarah di Masjid Jami Banjarmasin

18 Mei 2019 17:51 WIB
Mimbar dan beduk jadi sisa sejarah di Masjid Jami Banjarmasin
Masjid Jami Banjarmasin berdiri megah di atas lahan seluas 2,5 hektar. (ANTARA/foto/Firman)
Masjid Jami Banjarmasin yang sekarang berdiri megah di Jalan Masjid Jami RT 03 RW 01 Nomor 01, Kelurahan Antasan Kecil Timur, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, menjadi kebanggaan masyarakat sebagai pusat dakwah dan syiar Islam.

Menjadi masjid tertua kedua (242 tahun) di Kota Banjarmasin setelah Masjid Sultan Suriansyah (469 tahun) di Jalan Kuin Utara, Masjid Jami Banjarmasin atau yang dikenal juga dengan sebutan Masjid Jami Sungai Jingah, masih menyisakan benda bersejarah di awal pendiriannya pada hari Sabtu 17 Syawal 1195 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1777 Miladiyah (Masehi), yakni mimbar dan beduk.

"Pada mimbar terdapat prasasti bertuliskan huruf Arab yang menjelaskan berdirinya masjid. Kemudian dauh atau beduk juga dibawa dari bangunan masjid asal di Sungai Martapura," kata Sekretaris Yayasan Al Jami Banjarmasin Drs H Radiansyah.

Dalam sejarah asal mula pertama kali berdirinya, Masjid Jami memang tidak berada di tempat sekarang. Namun di tepi Sungai Martapura yang jaraknya sekitar 200 meter ke arah sungai dibangun pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah.

"Setelah lebih dari 100 tahun, bangunan tergerus sungai dan dikhawatirkan runtuh hingga pada tahun 1934 Masehi dipindah ke lokasi sekarang dan dibangun dari awal," ujar Radiansyah mengawali kisah sejarah Masjid Jami.

Nama Masjid Jami sendiri berarti mengumpulkan tempat ibadah berskala kecil yang ada sebelumnya. Untuk menyatukan jamaah, maka dibangunlah masjid besar yang cukup megah dengan nama Masjid Jami.

Pembangunan pada hari Ahad tanggal 16 Zulhijjah 1352 Hijriyah atau tahun 1934 Miladiyah itu di bawah pimpinan Mufti H Ahmad Kusasi yang dana seluruhnya swadaya masyarakat Banjarmasin yang bermukim di tepian sungai.

"Masyarakat bergotong royong. Bahkan saat membangun pondasi dasar dengan mengangkut pasir di Pulau Kembang atas seizin pemerintah yang berwenang saat itu. Bahan bangunan juga atas wakaf dan sumbangan umat Islam," beber Radiansyah mengingat perjuangan masyarakat zaman dulu membangun masjid.
Dalam perjalanannya, masjid berarsitektur Banjar dan kolonial bewarna dominan hijau yang dibuat dengan bahan dasar kayu ulin itu sudah pernah direnovasi sebanyak tiga kali. Namun renovasi tidak mengubah bentuk dasar bangunan utama, melainkan hanya mengganti sejumlah bagian yang sudah rusak dimakan usia menjadi baru lagi dengan kualitas terbaik sesuai zaman.

Bangunan ruang induk awal masih berdiri kokoh dengan tiang utama penyangga (tiang guru) sebanyak 17 buah melambangkan 17 rakaat dalam shalat fardhu sehari semalam.

Bagian atas dari kubah teratas sampai paling bawah berjenjang 5 melambangkan shalat lima waktu dan lima rukun Islam.

Luas ruang induk masjid bagian dalam 40x40 atau 1.600 meter persegi ditambah mihrab dan plaza seputar masjid dengan tiga pendopo sebagai pintu utama. Selain itu dilengkapi dengan 38 buah pintu masuk supaya memudahkan jamaah memasuki ruang induk yang berkapasitas 5.000 orang.

Adapun untuk renovasi besar pernah dilakukan sebanyak tiga kali. Pertama di masa pemerintahan Gubernur Kalsel (periode 1995-2000) Drs H Gusti Hasan Aman yang mengganti dinding muka lapisan jati. Kemudian Gubernur Sjachriel Darham (periode 2000-2005) merenovasi lantai dan penopang dinding yang habis dimakan rayap. Sehingga harus dicor dan dipasang keramik.

Selanjutnya zaman Gubernur H Rudy Ariffin yang membangun menara dan pemindahan lokasi lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak Islam Bhakti 1 dan TP Alquran serta Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Jami Banjarmasin ke area belakang masjid. Perluasan halaman depan pun dilakukan dengan membongkar gedung sekretariat masjid untuk dijadikan area parkir kendaraan. Halaman masjid ini juga bisa menampung hingga 15.000 jamaah di kala Shalat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha serta kegiatan pengajian KH Zuhdiannoor atau yang populer disebut jamaahnya Guru Zuhdi.

Selanjutnya masih di zaman Rudy Ariffin yang menjabat gubernur dua periode (2005-2010 dan 2010-2015), yang menganggarkan Rp 3 miliar untuk pembangunan interior masjid.

Sedangkan renovasi lainnya hanya bersifat temporer oleh pengurus yang dananya dari jamaah. Seperti pemasangan batu granit di halaman samping kiri menelan biaya Rp 1 miliar.

"Alhamdulilah tepat di bulan suci Ramadhan tahun ini, kami juga mendapat bantuan dari Gubernur Paman Birin berupa karpet untuk seluruh lantai masjid diganti semua. Kualitasnya sangat bagus, terasa lembut jadi enak diinjak kaki dan saat shalat," jelas Radiansyah.

Kini Masjid Jami Sungai Jingah terus berkembang menjadi salah satu masjid dengan pengelolaan terbaik. Menurut Radiansyah, dengan mereka memperlihatkan kesungguhan mengelola masjid, jamaah sangat mendukung melalui beragam bantuan dan infak yang diberikan untuk membantu pembangunan masjid.

Terbukti setiap pengurus memerlukan dana untuk kegiatan misalnya peringatan Maulid yang menelan biaya Rp 350 juta, cukup tiga kali membuka kotak amal.

Kemudian untuk uang infak Shalat Jumat terkumpul antara Rp 12 juta sampai Rp 15 juta. Pengajian Guru Zuhdi Rp 15 juta sampai Rp 25 juta. Sedangkan di bulan Ramadhan ini, infak mencapai Rp 10 juta sampai Rp 15 juta tiap malam Shalat Tarawih.

"Alhamdulilah Allah SWT membukakan rezeki luar biasa. Jadi pemasukan (income) Rp 1,6 miliar uang bergerak terus. Setiap bulan ada kegiatan perbaikan, penambahan dan penataan. Tetapi selesai program duitnya kembali lagi," ujar dia.

Beragam pelayanan untuk jamaah pun terus ditingkatkan oleh Badan pengurus masjid. Seperti adanya mobil ambulan serta penyediaan tanah alkah yang terletak di Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar dengan 375 lobang. Pengurus masjid juga memiliki badan penerima dan penyalur zakat.

Kedepan, masjid jami diharapkan jadi sentral pendidikan umat Islam yang terus membantu warga kurang mampu namun mempunyai kemampuan akademik untuk mengeyam pendidikan gratis di STAI Al-Jami Banjarmasin.

Peran aktif membina umat Islam melalui pelaksanaan pendidikan telah dirintis sejak tahun 1985 dengan pendirian Pondok Pesantren Hunafa dan STAI Al-Jami Banjarmasin tahun 1989.

TP Alquran yang dimotori Angkatan Muda Masjid Jami juga menggratiskan anak yang kurang mampu untuk bisa belajar mengaji dan pendidikan dasar agama di usia dini.

Masjid Jami secara berkesinambungan juga membina umat Islam dengan pelaksanaan ibadah rutin dan pengajian melalui majelis taklim yang dulunya dipimpin KH Muhammad Hanafi Gobit, ulama besar Kalsel berskala nasional yang pengajiannya digelar Jumat malam dan Senin malam.

Tradisi pengajian kini diteruskan secara bergantian oleh beberapa ulama dan saat ini yang paling populer dan jamaahnya tumpah ruah hingga ke halaman masjid dan jalan raya adalah Guru Zuhdi.

Kemudian ditambah dengan pengajian malam Ahad serta malam peribadatan (malam Jumat) serta pengajian subuh Jumat dan pengajian khusus ibu-ibu pagi Jumat.

Radiansyah mengungkapkan, kedepannya pemerintah berencana menjadikan Masjid Jami sebagai daerah wisata religi dengan membongkar bangunan rumah penduduk di tepi Sungai Martapura. Sehingga Masjid Jami bisa dipandang langsung dari sungai.

"Kami hanya berharap jamaah bisa menjaga kebersihan dan terus memakmurkan masjid dengan shalat berjamaah dan menggelar banyak kegiatan keagamaan serta sosial kemasyarakatan di masjid yang jadi kebanggaan kita bersama masyarakat Banua Kalimantan Selatan," katanya.

Gubernur Kalsel H Sahbirin Noor mendukung penuh jika kedepannya Masjid Jami Banjarmasin jadi kawasan wisata religius yang dapat menarik banyak wisatawan luar daerah untuk berkunjung melihat keunikan masjid syarat dengan nilai sejarah tersebut.

"Masjid besar yang bisa dilihat dari sungai tentu sangat indah dipandang mata. Hal ini sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Banjarmasin yang hidup di tepi sungai," tuturnya.

Untuk itu, kata Paman Birin, begitu biasa sang gubernur disapa, rencana itu bisa terwujud jika didukung seluruh masyarakat di sekitar areal masjid yang juga mengambil peran dalam keberadaan lokasi wisata dengan ikon utamanya sebuah masjid bersejarah.

"Sekarang tentu tugas kita bersama memberikan pemahaman kepada penduduk yang rumahnya akan digusur guna merealisasikan rencana besar itu," katanya.

Paman Birin sendiri diketahui orang asli Sungai Jingah, dimana rumah orang tuanya berjarak sekitar satu kilometer dari Masjid Jami. Tentu kedekatan secara emosional dengan Masjid Jami yang masih terhitung satu wilayah perkampungan dengan tempat tinggalnya di masa kecil, jadi modal semangat Gubernur untuk berkomitmen membantu kemajuan perkembangan masjid yang di area belakangnya terdapat Kompleks Makam Pahlawan Nasional Pangeran Antasari.(*)

Pewarta: Firman
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019