Petani Magelang Hidupkan Lagi Tarian "Goh Muko"

23 Desember 2007 21:48 WIB
Magelang (ANTARA News) - Komunitas petani Desa Sukodadi, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng), menghidupkan kembali tarian tradisional "Goh Muko" setelah sekitar setengah abad tak dimainkan. "Lima puluh tahun tarian ini mati, tak ada penari yang meneruskan, kami tidak tahu kenapa penyebabnya," kata Khomaruddin (35), Ketua Sanggar Tarian Tradisional "Goh Muko" Dusun Mondolika, Desa Sukodadi, Bandongan, di Magelang, Minggu. Grup kesenian itu beranggota 25 orang terdiri 12 penari Goh Muko dan 23 penabuh musik pengiring tarian yang didominasi gerakan pencak silat gaya Jawa tersebut. Para penari berpakaian serba warna hitam dan mengenakan topeng berbentuk berbagai jenis binatang seperti harimau, serigala, anjing, badak, naga dan raja harimau. Goh Muko artinya kepala tanpa badan. Alat musik tradisional pengiring tarian itu antara lain kendhang, jedhor, kenthing, seruling, kepyak, dan pelantun tembang-tembang bernuansa Jawa. Ia mengatakan, tarian itu bertutur kehidupan suatu kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bijaksana sehingga rakyatnya hidup makmur dan sejahtera. "Kalau digambarkan bahwa itu kerajaan binatang, itu simbolisasi yang bermakna mendalam, bahwa kerajaan binatangpun bisa hidup makmur dan sejahtera dengan dipimpin raja harimau yang baik dan bijaksana," katanya. Ia mengatakan, tarian itu juga menggambarkan bahwa orang Jawa pada masa lalu memelajari pencak silat. "Orang dulu belajar secara baik pencak silat, kalau generasi sekarang belajar beladiri modern, tarian ini berupa seni bela diri," katanya. Penggali tarian Gok Muko Ki Ipang, mengatakan, gerakan pencak silat dalam tarian itu relatif sulit dipelajari generasi muda zaman sekarang. "Butuh waktu agak lama untuk para penari memelajari gerakan silatnya, sedangkan topeng binatang yang dikenakan setiap penari kalau dibandingkan dengan zaman sekarang mirip dengan tarian barongsai," katanya. Tarian itu hilang sejak era 1950-an, kini masyarakat setempat mencoba menghidupkan lagi. (*)


Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007