Akibatnya, pembahasan tentang euthanasia lebih terkait dengan profesi medis, perdebatan tentang hak-hak pasien, serta tugas/kewajiban dokter. Oleh karena itu, euthanasia menjadi interdisipliner karena masalah ini sering dibahas oleh para filsuf, dokter, ahli (bio)etik, pemuka agama, akademisi, dan aktivis hak asasi manusia.
Secara etimologi, euthanasia berakar dari kata Yunani kuno “euthanatos” yang bermakna kematian indah atau mudah. Euthanasia adalah proses mengakhiri hidup seseorang untuk membebaskannya dari penderitaan. Menurut The Oxford Advanced Learner’s Dictionary, euthanasia adalah praktik membunuh tanpa rasa sakit dari seseorang yang menderita penyakit yang tak tertahankan (menyakitkan) serta tak tersembuhkan.
The American Medical Association’s Council on Ethical and Judicial Affairs mengartikan euthanasia sebagai tindakan membawa orang yang sakit dan menderita tanpa harapan dengan strategi cepat, tanpa sensasi sakit dengan pertimbangan belas kasihan.
The Euthanasia Society of America yang didirikan tahun 1938 mendefinisikan euthanasia sebagai terminasi (penghentian) kehidupan manusia dengan cara yang tidak menyakitkan untuk tujuan mengakhiri penderitaan fisik yang berat.
Sebagian ahli menyebut euthanasia sebagai pembunuhan rahmat (mercy killing, easy death, good death, qatalur-rahmah). Barangkali mereka berpikir hal itu lebih baik dilakukan untuk seseorang yang sakit parah dan menderita rasa sakit yang berkepanjangan dan tak tertahankan. Jadi, esensinya bertujuan mengakhiri kesengsaraan, bermotifkan belas kasihan karena penderitaan berkesinambungan.
Seseorang yang mengajukan permohonan untuk melakukan euthanasia umumnya mengalami sakit parah dengan harapan hidup tipis. Ada juga beberapa kasus unik di mana sebagian manusia ingin hidup mereka berakhir karena alasan tertentu. Euthanasia dapat dilakukan atas permintaan orang tersebut, namun keputusan mengakhiri hidup dapat juga dibuat oleh kerabat, petugas medis, atau pengadilan.
Data dan Fakta
Euthanasia disahkan dalam kondisi tertentu di Belanda pada tahun 2002. Di Belgia, tindakan euthanasia legal sejak 28 Mei 2002. Di Inggris, Euthanasia dinyatakan ilegal alias melanggar hukum. Hukum Inggris melarang untuk membantu proses bunuh diri.
Euthanasia voluntary atau proses bunuh diri dengan bantuan dapat menyebabkan hukuman penjara hingga 14 tahun. Masalah ini menjadi perdebatan yang berkesinambungan dan disertai pertimbangan agama, (bio)etika, moral, dan medis. Hukum Northern Territory of Australia yang mengizinkan euthanasia mulai berlaku pada Juni 1996, dibatalkan pada Maret 1997.
Swiss dan negara bagian Oregon di Amerika Serikat hanya mengizinkan bunuh diri yang dibantu dokter. Banyak negara juga berusaha mencapai keseimbangan antara hukum etis dan pragmatis yang mengaturnya. Ini merupakan indikasi bahwa divergensi opini menjadi ciri legalitas atau praktik euthanasia.
Božidar Banovic, dkk (2017) telah melakukan review etis atas dukungan Fakultas Hukum di Universitas Kragujevac. Tim riset berhasil mengumpulkan data dari Pusat Rumah Sakit Klinis di Kragujevac. Data berhasil dikumpulkan selama paruh pertama tahun 2015. Penelitian ini melibatkan 88 dokter: 57 dokter laki-laki (mewakili 77 persen dari sampel) dan 31 dokter wanita (23 persen dari sampel). Riset ini menggunakan metode deskriptif dan metode analisis konten teoretis.
Hasilnya, sebagian besar dokter (56,8 persen) percaya bahwa euthanasia aktif secara etis tidak dapat diterima, sementara 43,2 persen memilih solusi lain (35,2 persen mengambil sudut pandang bahwa itu sepenuhnya dapat diterima secara etis, sedangkan 8 persen sisanya secara etis dapat diterima dalam kasus-kasus tertentu).
Dari perspektif lain, sejumlah 56,8 persen responden menjawab negatif tentang penerimaan etis dari bunuh diri atas bantuan dokter, sementara 33 persen dari mereka memilih sudut pandang yang sepenuhnya etis dari prosedur ini. Dari 10 yang tersisa, 2 persen memilih penerimaan etis dalam kasus-kasus tertentu.
Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa dokter di Serbia terbagi dalam masalah ini. Jumlah kelompok yang menganggap euthanasia aktif dan bunuh diri atas bantuan dokter sebagai tidak dapat diterima secara etis sedikit lebih banyak.
Di Indonesia pernah dilakukan euthanasia aktif. Saat dokter kandungan harus memilih untuk menolong bayi atau ibunya, bila proses persalinan berdampak meninggalnya ibu. Dalam kasus ini, dokter memilih untuk menolong ibunya.
Etika Euthanasia
Euthanasia menimbulkan sejumlah dilema moral. Misalnya: pernahkah dibenarkan untuk mengakhiri hidup pasien yang sudah parah, merasakan sakit berkepanjangan, dan tidak ada lagi harapan? Adakah perbedaan moral antara membunuh seseorang dan membiarkan mereka mati? Benarkah manusia memiliki hak asasi untuk meneruskan hidup dan memutuskan mati? Inti dari semua dilema ini adalah multiperspektif paradigma tentang nilai, makna, dan eksistensi manusia.
Beberapa opini dan argumen berkembang berdasarkan masalah praktis dan disesuaikan norma, adat, dan budaya setempat. Beberapa ahli menyatakan bahwa euthanasia tidak diperbolehkan, bahkan jika secara moral benar, karena hal itu berpotensi disalahgunakan sebagai motif atau kedok untuk melakukan pembunuhan berencana.
Uniknya, tidak dapat dikatakan sebagai euthanasia bila pasien meninggal karena menolak perawatan medis tertentu yang direkomendasikan dokter, namun perawatan tersebut dirasakan amat mahal atau memberatkan kondisi finansial pasien.
Prosedur Euthanasia
Euthanasia dapat dilakukan dengan memberikan suntikan yang mematikan atau dengan tidak melakukan tindakan yang diharuskan agar seseorang bertahan hidup. Seperti mengabaikan tabung oksigen tidak berjalan lancar, membiarkan seseorang yang gawat darurat tidak diberikan pertolongan segera, dan sebagainya.
Tindakan memberikan obat untuk mengurangi rasa sakit, meskipun obat itu menyebabkan pasien meninggal secara perlahan tidak dapat dikategorikan sebagai euthanasia. Hal ini karena dokter dan tim medis berniat untuk menghilangkan rasa sakit, bukan untuk membunuh atau menghilangkan nyawa pasien. Opini ini dikenal sebagai doctrine of double effect.
Kebanyakan orang berpikir bahwa rasa sakit yang tak tertahankan merupakan alasan utama untuk melakukan euthanasia. Menurut beberapa survei di AS dan Belanda, kurang dari sepertiga permintaan euthanasia adalah karena sensasi sakit yang parah.
Orang dengan sakit parah memiliki kualitas hidup yang amat buruk. Secara tidak langsung kondisi fisiknya mengindikasikan hal ini. Misalnya: inkontinensia, mual dan muntah, sesak napas, kelumpuhan, dan sulit menelan.
Faktor-faktor psikologis tertentu menyebabkan seseorang berpikir tentang euthanasia. Contohnya: kondisi depresi, takut kehilangan kendali atau martabat, merasakan beban, atau tidak suka bergantung pada orang lain.
Berdasarkan aspek kontekstualitas sains dan teknologi, euthanasia merupakan konsekuensi riset dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dari sisi kemanusiaan, euthanasia adalah tindakan terpuji karena membantu seseorang untuk mengakhiri penderitaannya.
Euthanasia menimbulkan problematika dan dilema saat dikaji dari perspektif religi (terutama agama Islam) dan hukum. Dari perspektif Islami, euthanasia menimbulkan pro dan kontra, karena permasalahan hidup dan mati itu telah ditentukan oleh Allah SWT (QS Al Mulk ayat 2).
Mengingat rumitnya permasalahan ini, maka pada Juni 1997, MUI melalui muzakarah (pengkajian) di Jakarta telah merekomendasikan bahwa euthanasia serupa dengan tindakan bunuh diri.
Dari paradigma hukum, euthanasia menimbulkan masalah, karena terkait erat dengan penghilangan nyawa seseorang. Sesuai pasal 344 dan 345 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), euthanasia ditafsirkan perbuatan melawan hukum.
*) dr Dito Anurogo MSc adalah dokter literasi digital, penulis puluhan buku, dosen tetap Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah (FKIK Unismuh) Makassar, kepala LP3AI ADPERTISI, pengurus Forum Lingkar Pena Makassar Sulawesi Selatan, Director networking IMA Chapter Makassar, pengurus APKKM (Asosiasi Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan Muhammadiyah).
Baca juga: Kata MUI soal euthanasia
Baca juga: Pengadilan Aceh mulai sidangkan permohonan suntik mati
Pewarta: dr Dito Anurogo MSc *)
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019