• Beranda
  • Berita
  • KPAI: dispensasi pada UU Perkawinan masalah bagi anak

KPAI: dispensasi pada UU Perkawinan masalah bagi anak

24 Mei 2019 17:49 WIB
KPAI: dispensasi pada UU Perkawinan masalah bagi anak
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto dalam rapat koordinasi untuk menetapkan langkah pemerintah dalam pencegahan perkawinan anak setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perkawinan anak yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta, Jumat (24/5/2019). (ANTARA/Dewanto Samodro)

KPAI sendiri merekomendasikan usia perkawinan dinaikkan menjadi 19 tahun hingga 21 tahun. Namun, apakah aturan 19 tahun atau 21 tahun itu masih akan efektif bila masih ada ruang dispensasi bagi perkawinan anak?,

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan ayat tentang kemungkinan permintaan dispensasi terhadap perkawinan anak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan salah satu permasalahan dalam pelindungan anak di Indonesia.

"Ruang pemberian dispensasi dalam Undang-Undang Perkawinan menjadi tantangan dalam upaya pencegahan perkawinan anak," sebutnya dalam rapat koordinasi yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta, Jumat.

Ia menambahkan bila aturan pencegahan perkawinan anak sudah ada, tetapi masih ada dispensasi bagi perkawinan anak, maka keffektifan norma baru itu untuk mencegah perkawinan menjadi dipertanyakan.

Karena itu, ia menilai rencana penerbitan peraturan Mahkamah Agung (MA) untuk memutus pemberian dispensasi menjadi sangat diperlukan sebagai upaya untuk mencegah perkawinan anak.

"KPAI sendiri merekomendasikan usia perkawinan dinaikkan menjadi 19 tahun hingga 21 tahun. Namun, apakah aturan 19 tahun atau 21 tahun itu masih akan efektif bila masih ada ruang dispensasi bagi perkawinan anak?" terangnya.

Selain upaya melalui aturan, Susanto menilai upaya pencegahan perkawinan anak juga memerlukan kebijakan yang lintas sektor yang mendukung. Misalnya, aturan tentang wajib belajar.

"Kebijakan wajib belajar 12 tahun baru di beberapa daerah dan bersifat lokal dan belum menjadi norma nasional. Bila wajib belajar 12 tahun bisa menjadi norma nasional, hal itu bisa menjadi pencegah perkawinan anak," jelasnya.

Menurut dia, dampak perkawinan anak sudah banyak dielaborasi dan disampaikan oleh banyak melalui berbagai riset sosial maupun riset keluarga.

"Kesimpulannya sudah selesai. Perkawinan anak berdampak buruk bagi anak," ujarnya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perkawinan Anak menggelar rapat koordinasi untuk menetapkan langkah pemerintah dalam pencegahan perkawinan anak setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perkawinan anak.

Rapat koordinasi tersebut diikuti oleh perwakilan kementerian dan lembaga, yaitu Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kesehatan, KPAI, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Rapat koordinasi juga melibatkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Yayasan Kesehatan Perempuan, Kapal Perempuan, Aliansi Remaja Indonesia, Kalyana Mitra, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia serta perwakilan dari Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) dan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA).

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2019