"Saat ini, "stunting" masih jadi masalah gizi utama bagi bayi dan anak di bawah usia lima tahun di Tanah Air. Kondisi itu harus segera dientaskan karena akan menghambat generasi emas pada 2045," ujar Grace dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Dia menambahkan anak-anak dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menjadi paling rawan terkena "stunting". Di Indonesia hanya Provinsi Bali yang bebas dari "stunting".
Sementara itu, Peneliti utama SEAMEO RECFON Umi Fahmida, mengatakan belanja rokok di rumah tangga di Tanah Air mencapai 12,4 persen dari pengeluaran rumah tangga.
Hal itu setara dengan dengan jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli sayur-mayur (8,1 persen) serta telur dan susu (4,3 persen).
Jika pengeluaran rokok sebanyak 12, 4 persen itu disisihkan, maka akan sangat berkontribusi untuk keragaman pangan yang bermanfaat bagi peningkatan gizi anak.
"Uang itu bisa dibelikan sesuatu yang berguna, mungkin dibelikan telur, ikan sayur dan buah. Tentu sangat penting bagi kecerdasan dan kesehatan anak," kata Umi.
Berdasarkan hasil analisis data Indonesian Family Life Survey (IFLS) menyebutkan kemungkinan anak dari keluarga perokok menjadi "stunting" lebih besar dari anak keluarga tanpa perokok.
Selain itu, berdasarkan studi dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, anak-anak dari keluarga perokok kronis memiliki kecenderungan untuk tumbuh lebih pendek dan lebih ringan dibandingkan dengan anak dari keluarga tanpa perokok.
Pewarta: Indriani
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019