• Beranda
  • Berita
  • Mengurangi hoaks, pembatasan medsos atau literasi digital?

Mengurangi hoaks, pembatasan medsos atau literasi digital?

26 Mei 2019 12:12 WIB
Mengurangi hoaks, pembatasan medsos atau literasi digital?
Ilustrasi media jejaring sosial. (Flickr)
Pembatasan akses ke sejumlah media sosial secara sementara pada 22-25 Mei kemarin untuk mengurangi hoax mendapat tanggapan pro dan kontra dari warganet, sebagian setuju untuk mengurangi hoaks, yang lainnya merasa akses menuju informasi menjadi berkurang.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara beberapa waktu lalu menyatakan pembatasan ini sesuai dengan UU nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), berkaitan dengan manajemen konten.

Pasal 40 ayat 2 UU ITE menyebutkan pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Kepala Divisi Akses Atas Informasi SAFEnet, Unggul Sagena, berpendapat pembatasan akses ke media sosial seperti kemarin, sebenarnya bisa saja dilakukan selama pemerintah memberikan informasi yang jelas mengenai waktu pembatasan tersebut dan menyampaikan tahapan-tahapannya.

"Masyarakat bisa antisipasi dan memberikan informasi kalau akan ada ketidakbisaan informasi komunikasi dalam sekian jam sehingga klien, kerabat, dan seterusnya bisa memaklumi," kata Unggul saat dihubungi Antara, Minggu.

Tapi, hoaks tidak hanya tersebar di hari-hari tersebut dan platform tertentu. Unggul mengakui selama pembatasan mungkin saja konten hoaks menurun di platform-platform yang dibatasi tersebut, namun dia khawatir hoaks tersebut sebenarnya hanya pending atau tertunda dan tetap terkirim ketika pembatasan dicabut.

Instan

SAFEnet menilai pembatasan akses ke media sosial merupakan cara yang instan untuk mengurangi hoaks, berbeda dengan literasi digital yang memerlukan waktu yang lama.

"Medsos hanya salah satu kanal penyebaran misinformasi, disinformasi dan malinformasi," kata dia.

Penyebaran hoax lainnya bisa dilakukan melalui komunikasi langsung dan berkaitan dengan cara pikir dan mental penerima pesan. SAFEnet menilai literasi digital harus dikedepankan dalam mengurangi hoax.

Jika masyarakat yang termakan hoax melakukan pelanggaran hukum, menurut dia dapat ditindak secara hukum untuk memberikan efek jera.

"Pembatasan (medsos) tidak memberikan efek jera," kata dia.

Dia mencontohkan salah satu konsekuensi dari pembatasan media sosial ini, masyarakat awam menggunakan virtual private network (VPN) agar bisa mengakses sejumlah fitur di media sosial yang untuk sementara diblokir.

Dia khawatir VPN justru menjadi sarana untuk mengakses konten-konten negatif yang selama ini ditepis.

Warganet memiliki hak digital, dalam konteks Indonesia, hak digital yang dianut di sini berkaitan dengan hak asasi manusia secara universal pada ruang siber, antara lain hak kebebasan berekspresi dan hak untuk mencari, menerima dan memberi informasi.

Hak tersebut, menurut Unggul, tercederai ketika pemerintah secara sepihak dan tanpa memberikan paramater ketika memberlakukan pembatasan media sosial, serta menimbulkan ketidakjelasan informasi.

"Rakyat sesungguhnya dapat menerima apabila ada alasan disampaikan dan jangka waktu jelas, terutama pada real time jam-jam rawan yang disebut 'urgent' atau 'darurat', dan itu penetapan darurat pun ada mekanisme prosedurnya," kata dia.

Pemerintah, menurut dia cukup memberi imbauan untuk tidak menyebarkan hoaks dan akan menindak para pelanggar dalam menyikapi informasi-informasi yang menyesatkan saat aksi 22 Mei kemarin. Secara paralel Kominfo, kepolisian, tentara, intelijen dan lembaga-lembaga terkait bekerja sama dengan penyedia layanan untuk melakukan cara agar dampak hoaks tidak meluas, tanpa mengurangi hak digital masyarakat.

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019