• Beranda
  • Berita
  • Kemajuan Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca

Kemajuan Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca

27 Mei 2019 10:09 WIB
Kemajuan Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca
Satya Hangga Yudha Widya Putra (kiri) (ANTARA/Dokumentasi Pribadi)
Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk telah melampaui 262 juta orang, meliputi 17.000 pulau, dan terdiri atas 34 provinsi, tidak hanya kaya budaya, bahasa, etnis, agama, dan keanekaragaman hayati, tetapi juga sumber energi baru dan terbarukan.

Dengan Kesepakatan Paris, yang telah diratifikasi dan dikonversi menjadi undang-undang, di mana kita harus mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 atau 41 persen dengan bantuan internasional, serta tujuan nasional kita untuk meningkatkan energi baru dan terbarukan menjadi 23 persen dari total bauran energi nasional pada 2025 dan 31 persen pada 2050, maka menjadi sangat penting bagi Indonesia meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan.

Indonesia juga kaya bahan bakar fosil, namun bahan bakar fosil mengeluarkan emisi gas rumah kaca dalam skala yang tidak kecil, bahan bakar fosil tidak ramah lingkungan, dan bahan bakar fosil tidak berkelanjutan.

Akibatnya, untuk alasan keamanan energi dan kedaulatan energi, Indonesia harus beralih ke tipe energi yang lebih aman, ramah lingkungan, dan berkelanjutan, yaitu energi baru dan terbarukan.

PT PLN (Persero), badan usaha milik negara (BUMN) di bidang listrik dan satu-satunya pembeli listrik, telah membuat kemajuan dalam meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan di negara ini.

Tahun ini, Indonesia mengharapkan tiga proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), yaitu Sorik Marapi 40 MW, Lumut Balai Unit 1 55 MW, dan Muara Laboh 80 MW mulai beroperasi.

Di sisi lain, proyek senilai 300 juta dolar Amerika Serikat yakni PLTP Dieng 2 dan Patuha 2, yang dijalankan PT Geo Dipa akan menambah kapasitas masing-masing menjadi 60 MW.

Selain itu, Geo Dipa juga telah mengantongi perjanjian pembelian daya (PPA) dengan PLN untuk tujuh unit PLTP Dieng Patuha. Berdasarkan PPA, harga listrik setiap satu MW adalah Rp2,5 juta.

Sementara itu, tarif penjualan listrik, yang disepakati ke PLN adalah 8,2 sen dolar AS per kWh. Sejauh ini, kedua proyek telah dimasukkan dalam Program Jalur Cepat (FTP) Tahap II 10.000 MW.

PLTP Dieng dan Patuha Unit 2 juga merupakan bagian dari megaproyek listrik 35.000 MW, yang ditetapkan pemerintahan Jokowi-JK.

Selanjutnya, Geo Dipa juga membangun pembangkit listrik skala kecil dengan kapasitas 10-15 MW dan peringkat siklus pembangkit listrik organik dengan skema build operate transfer (BOT).

Kedua proyek independen tersebut diharapkan selesai pada 2020 dan 2022. Kemajuan proyek-proyek ini merupakan langkah konkret bagi Indonesia untuk meningkatkan target bauran 23 persen energi baru dan terbarukan pada 2025.

PLN, perusahaan milik negara yang dikendalikan Pemerintah Indonesia, dapat mengedarkan sertifikat kepada perusahaan-perusahaan, yang ingin mendapatkan sumber listriknya dari energi baru dan terbarukan.

Jadi, program energi hijau atau green energy adalah kategori pelayanan yang sama dengan lainnya seperti green, blue, dan crystal, yang membedakannya adalah dalam kualitas pelayanan dan klausul yang ada di dalam persyaratan itu akan menikmati layanan kategori premium energi hijau atau premium green energy, apabila sumber listriknya berasal dari salah satu pembangkit listrik energi baru dan terbarukan.

Kendati demikian, kita perlu tahu bahwa beberapa daerah dalam kategori 3T (tertinggal, terdepan, terluar), yang baru saja mendapatkan aliran listrik, sejumlah pembangkit listriknya berbahan bakar diesel, yang biaya produksinya mencapai Rp3.000 per kWh.

Di sisi lain, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, Pemerintah Indonesia telah mendorong penggunaan transportasi umum seperti moda raya terpadu atau mass rapid transit (MRT), yang baru-baru ini diresmikan dan dioperasikan di Jakarta.

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga berinvestasi dalam moda transportasi listrik dan ini terbukti dari dukungan pemerintah untuk sepeda motor listrik Gesits, inisiatif perusahaan Blue Bird untuk mengimpor dan menggunakan kendaraan listrik untuk taksi mereka sejak bulan ini, dan langkah Transjakarta memiliki dua bus listrik.

Inisiatif ini diharapkan mendukung program Pemerintah Indonesia terkait Program Langit Biru, yang bertujuan mengendalikan polusi udara untuk mewujudkan kesadaran ramah lingkungan.

Walaupun ada kemajuan dari Indonesia baik dari pemerintah maupun BUMN dan swasta dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan untuk pembangkit listrik, namun masih jelas bahwa Pemerintah Indonesia masih memprioritaskan harga dibandingkan sumber energinya karena biaya awal energi baru dan terbarukan, yang tinggi, dan harga listriknya juga lebih tinggi dibandingkan dengan fosil, seperti batubara dan gas.

Mengelompokkan beberapa proyek kecil ke dalam satu kesepakatan investasi energi baru dan terbarukan, yang besar dan bisa mendapatkan dukungan dari lembaga keuangan, akan sangat membantu untuk mengatasi masalah ini, karena bakal lebih banyak investasi dalam pendidikan untuk melatih generasi insinyur dan teknisi berikutnya yang dapat mengelola dan mempertahankan transisi ke sektor energi yang lebih berkelanjutan.

Terlepas dari kenyataan bahwa kita masih memiliki cadangan bahan bakar fosil, yang besar dan dapat dieksploitasikan untuk kebutuhan listrik dan transportasi, namun karena Perjanjian Paris, tujuan energi nasional kita, dan lingkungan kita, maka akan sangat penting bagi kita beralih ke energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan, berkelanjutan, dan tahan lama.

*) Satya Hangga Yudha Widya Putra adalah Co-Founder dan Penasihat Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I), Duta Jakarta Intercultural School (JIS), dan Penerima Beasiswa LPDP (PK-51)

Baca juga: Kaltim pelaksana program pengurangan emisi karbon gas rumah kaca

Baca juga: Pondok Belajar Desa Mensiau dibangun untuk membina warga mengelola SDA berkelanjutan

 

Pewarta: Satya Hangga Yudha Widya Putra BA (Hons) MSc *)
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019