• Beranda
  • Berita
  • KPK jelaskan status dua WNA terkait suap Imigrasi NTB

KPK jelaskan status dua WNA terkait suap Imigrasi NTB

28 Mei 2019 22:10 WIB
KPK jelaskan status dua WNA terkait suap Imigrasi NTB
Dari kiri ke kanan. Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dan Irjen Kementerian Hukum dan HAM Jhoni Ginting saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa (28/5/2019). (Antara/Benardy Ferdiansyah)

Begitu uang (suap) itu sudah diserahkan (ke KPK) kemudian paspornya dikembalikan dan pada hari berikutnya yang bersangkutan langsung kembali ke negara masing-masing yang satu ke Singapura, yang satu ke Australia

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan status dari dua Warga Negara Asing (WNA) terkait kasus suap penanganan perkara penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB) Tahun 2019.

"Begitu uang (suap) itu sudah diserahkan (ke KPK) kemudian paspornya dikembalikan dan pada hari berikutnya yang bersangkutan langsung kembali ke negara masing-masing yang satu ke Singapura, yang satu ke Australia," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Lebih lanjut, Alex menyatakan bahwa KPK akan berkoordinasi dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB/Lembaga Antikorupsi Singapura) dan Lembaga Antikorupsi Australia terkait tindakan dua WNA yang menyuap pejabat publik di Indonesia.

"Jelas ini adalah tindakan penyuapan pada pejabat publik, tentu nanti kami akan melakukan koordinasi dengan Singapura dan Australia untuk melaporkan dua warga negara tersebut yang telah melakukan penyuapan pada pejabat publik di Indonesia. Mereka punya aturan yang melarang memberikan suap pada pejabat publik asing," tuturnya.

Dalam kasus itu, KPK menetapkan tiga tersangka, yaitu sebagai penerima Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram Kurniadie (KUR) dan Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin (YRI).

Sedangkan sebagai pemberi, yaitu Direkur PT Wisata Bahagia atau pengelola Wyndham Sundancer Lombok Liliana Hidayat (LIL).

Dalam konstruksi perkara kasus itu, dijelaskan bahwa Penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA dengan inisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal.

"Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa, tetapi ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga dua WNA ini melanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian," ungkap Alex.

Merespons penangkapan tersebut, lanjut Alex, Liliana perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara melakukan negosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Klas I Mataram agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut.

"Kantor Imigrasi Klas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan untuk dua WNA tersebut tanggal 22 Mei 2019. YRI kemudian menghubungi LIL untuk mengambil SPDP tersebut," kata Alex.

Permintaan pengambilan SPDP itu diduga sebagai kode untuk menaikan harga untuk menghentikan kasus.

"LIL kemudian menawarkan uang sebesar Rp300 juta untuk menghentikan kasus tarsebut, namun YRI menolak karena jumlahnya sedikit. Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut YIR berkoordinasi dengan atasannya KUR. Selanjutnya, diduga terjadi pertemuan antara YRI dan LIL untuk kembali membahas negosiasi harga," tuturnya.

Dalam OTT itu, KPK mengungkap modus baru yang digunakan Yusriansyah, Liliana, dan Kurniadie dalam negosiasi uang suap, yaitu menuliskan tawaran Liliana di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara dan kemudian Yusriansyah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan.

"Akhirnya disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara dua WNA tersebut adalah Rp1,2 miliar," ujar Alex.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019