• Beranda
  • Berita
  • ASEAN ingatkan pentingnya perdamaian dan stabilitas di LCS

ASEAN ingatkan pentingnya perdamaian dan stabilitas di LCS

30 Mei 2019 16:17 WIB
ASEAN ingatkan pentingnya perdamaian dan stabilitas di LCS
Sepuluh kepala negara ASEAN berkumpul dalam KTT ASEAN ke-33 yang berlangsung 11-15 November 2018, Singapura. (ASEAN2018)

Komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang meliputi tiga pilar, yakni Komunitas Ekonomi (MEA), Komunitas Politik dan Keamanan (MPKA), dan Komunitas Sosial dan Budaya (MSBA) telah diberlakukan sejak Desember 2015.

Dengan pembentukan Komunitas ASEAN khususnya Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN, perhimpunan ini harus semakin berperan di dalam menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan, termasuk juga berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan (LCS) yang memiliki nilai politis dan strategis.

Pihak-pihak yang bersengketa dengan klaim sebagai pemilik sah seluruh atau sebagian kedaulatan di kawasan ini ialah China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan.

Berbagai cara dan pendekatan sudah dan terus diupayakan. Namun yang tampak menonjol ialah pendekatan bilateral China dengan negara-negara claimants, kecuali dengan Taiwan. China ingin bernegosiasi dan menyelesaikan dengan masing-masing negara, tidak ingin campur tangan dari luar.

Tentu saja negara-negara besar berusaha mencegah cara-cara yang ditempuh China untuk ekspansi. Pendekatan dan cara pandang yang berbeda antara China dan AS beserta sekutunya dikhawatirkan mengganggu stabilitas dan perdamaian di kawasan.

Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI dalam tulisan “ASEAN dan Isu Laut China Selatan” mencatat, secara regional Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang terlibat dalam LCS cenderung mengesampingkan mekanisme regional ASEAN di dalam penyelesaian konflik.

Ini menunjukkan bahwa di antara sesama negara anggota ASEAN masih terdapat perbedaan kepentingan yang juga memperlihatkan rasa saling curiga atau tidak percaya antarnegara atas kemampuan ASEAN untuk menyelesaikan konflik di LCS sesuai dengan norma dan nilai ASEAN.

Jika diamati lebih mendalam, lingkungan geopolitik di LCS telah bergerak ke tahap baru, tak hanya melibatkan pihak-pihak yang bersengketa atas kedaulatan di kawasan itu, tetapi juga menarik sejumlah negara besar yang merasa memiliki kepentingan.

Mengaku memiliki "hak kesejarahan", Beijing berambisi untuk mengendalikan lebih 80 persen dari LCS. Baru-baru ini, China telah secara agresif melakukan pembangunan pulau buatan di LCS dan melengkapinya dengan kekuatan militer paling modern.

London Reefs telah dibangun menjadi pulau terapung dengan luas 231.000 meter persegi, Subi menjadi pulau terapung dengan luas empat juta meter persegi, Cross Reef memiliki luas 2,7 juta meter persegi, Mischief Reef 5,5 juta meter persegi, Gaven 1.360 meter persegi, Hughes Reef 1.400 meter persegi dan Johnson Reef 109.000 meter persegi.

Secara total, wilayah China yang mencakup Kepulauan Spratly sekitar 1.300 hektar. Ini adalah salah satu hal hebat yang pernah dilihat dunia.

Namun negara itu mendapat tantangan dari Amerika Serikat yang menghendaki "kebebasan navigasi", sementara kekuatan-kekuatan lain di kawasan, seperti Jepang, India dan Rusia mencari pengaruh yang lebih besar di Asia Tenggara.

Para pengamat berpendapat China dengan pengaruh budaya, bahasa, ekonomi, perdagangan dikombinasikan dengan kekuatan militer ingin menunjukkan dominasi di LCS sebagai batu loncatan untuk dominasinya di tingkat global.

Tak sedikit yang berpandangan bahwa apa yang diperlihatkan oleh China di kawasan ini merupakan "neo-kolonialisme di laut" dan tak mematuhi hukum internasional.

Dalam upaya untuk memecahkan sengketa LCS melalui cara-cara damai sesuai dengan hukum internasional, apa yang telah diputuskan Mahkamah Tetap Arbitrase (PCA) di Den Haag (12/7/2016) terkait sengketa China-Filipina dapat dianggap sebagai tonggak penting.

Mahkamah itu menyimpulkan bahwa China tidak memiliki "hak kesejarahan" atas perairan di LCS dan tidak memiliki dasar hukum untuk membuat klaim tentang "hak kesejarahan" atas sumber daya alam di "sembilan-garis putus-putus".

Mahkamah juga menyimpulkan beberapa struktur tidak melekat pada Kepulauan Spratly dari Vietnam memberikan China hak untuk zona ekonomi eksklusif.

Patut diapresiasi langkah yang sudah ditempuh perhimpunan itu seperti tercermin dalam kesepakatan ASEAN-RRC tentang COC Framework. ASEAN dan RRC berhasil menyepakati Kerangka Tata Perilaku (COC Framework) di LCS.

Kesepakatan tersebut dicapai pada pertemuan ke-14 para pejabat senior ASEAN-China mengenai implementasi dari Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (SOM on DOC) di Guiyang, China pada 18 Mei 2017.

Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri, Jose Tavares, menggarisbawahi bahwa momentum yang baik antara ASEAN-RRC dan kemajuan dalam implementasi DOC sejak beberapa waktu terakhir membantu percepatan penyelesaian COC Framework.

Kesepakatan atas COC Framework ini merupakan suatu capaian penting ASEAN-RRC mengingat proses konsultasi COC telah dimulai sejak tahun 2013 dan mendapat momentum positif setelah pada pertengahan tahun 2016 para menteri luar negeri ASEAN-China memberikan mandat kepada pejabat tinggi untuk menyelesaikan COC Framework pada pertengahan tahun 2017.

ASEAN-China SOM on DOC dan JWG on DOC merupakan mekanisme di bawah pertemuan menteri luar negeri ASEAN dan RRC untuk membahas implementasi DOC secara efektif dan menyeluruh serta melakukan konsultasi dalam rangka penyusunan COC.

Langkah yang sebenarnya ingin ditempuh oleh negara-negara di kawasan ialah mendorong kerja sama dengan melakukan penelitian ilmiah, perlindungan lingkungan laut, pencegahan bencana, SAR di laut, pencegahan pembajakan, perdagangan manusia dan migrasi ilegal dan konservasi keanekaragaman hayati.

Adalah tanggung jawab semua bangsa dan negara baik yang ada di dalam atau di luar kawasan ini untuk mencegah konflik dan secara tulus membangun saling percaya satu sama demi stabilitas kawasan.

Dalam konteks ini tentu saja ASEAN yang beranggota 10 negara harus lebih kuat, lebih bersatu dalam menyelesaikan sengketa kedaulatan atas LCS dengan China dan para pemimpinnya harus sadar dan memahami mengapa founding fathers membentuk ASEAN.

Baca juga: Kapal perang AS berlayar di Laut China Selatan bersengketa

Baca juga: Pengamat China: pembelian F-35 oleh Singapura bukan ancaman


Baca juga: Menteri Inggris bertemu Dubes negara ASEAN untuk perkuat hubungan

Pewarta: Mohamad Anthoni
Editor: Azizah Fitriyanti
Copyright © ANTARA 2019