Dalam melakukan revisi sistematika, penelitian ini menerapkan pendekatan integratif yang menggabungkan pemeriksaan morfologi cangkang, karakter genitalia, dan DNA
Peneliti moluska atau Malacologist dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Centrum für Naturkunde (CeNak), Universität Hamburg, Jerman, menemukan 16 spesies baru keong darat Landouria asal Pulau Jawa.
Penemuan tersebut dipublikasikan dalam Revision of the land snail genus Landouria Godwin-Austen, 1918 (Gastropoda, Camaenidae) from Java yang diterbitkan oleh European Journal of Taxonomyedisi Mei 2019.
Peneliti moluska dari Pusat Penelitian Biologi LIPI Ayu Savitri Nurinsiyah yang menemukan spesies baru ini saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat (31/5), mengatakan penelitian dilakukan terhadap spesimen yang menjadi koleksi beberapa museum di dunia, seperti Natural History Museum of London di Inggris, Naturalis Biodiversity Center di Belanda, Senckenberg Museum of Frankfurt dan Zoological Museum of the University of Hamburg di Jerman, serta Museum Zoologicum Bogoriense di Indonesia.
Selain dari museum, penelitian juga dilakukan terhadap koleksi keong darat Landouriadari penemuan lapangan di Jawa tahun 2013-2015.
“Kalau (koleksi) museum, yang paling lama koleksi tahun 1889. Koleksinya A. Strubell dari Gunung Salak. Sekarang tersimpan di Senckenberg Museum of Frankfurt (SMF), Jerman,” kata Ayu.
Dari hasil penelitian yang dilakukan bersama Marco Neiber dan Bernhard Hausdorf, Malacologist dari Centrum für Naturkunde (CeNak), Universität Hamburg, Jerman ini, menurut Ayu, sebetulnya merevisi satu genus di Jawa bernama Landouria.
“Dalam melakukan revisi sistematika, penelitian ini menerapkan pendekatan integratif yang menggabungkan pemeriksaan morfologi cangkang, karakter genitalia, dan DNA,” ujar Ayu.
Sehingga jika berdasarkan karakter morfologi cangkangnya ia mengatakan diketahui dari yang awalnya hanya tujuh spesies yang terungkap di Jawa, setelah ditelaah lebih mendalam dengan examination genitalia dan DNA ternyata jumlahnya menjadi 28.
“Dari enam spesies Landouria yang diungkap oleh van Benthem Jutting (1950) dan satu spesies oleh Bunjamin Dharma (2015), kami berhasil mendeskripsi kembali 28 spesies di Jawa, 16 di antaranya adalah spesies baru dalam ilmu pengetahuan,” ujar dia.
Lebih lanjut Ayu mengatakan 16 spesies tersebut di antaranya adalah Landouria parahyangensis yang dinamakan berdasarkan area sebaran spesies tersebut yaitu di tanah Sunda (Parahyangan). Sementara Landouria petrukensis diberi nama Petruk karena hanya ditemukan di kawasan Gua Petruk, Kebumen, Jawa Tengah.
“Sedangkan Landouria abdidalem terinspirasi dari abdi dalem Keraton Yogyakarta di mana spesies tersebut ditemukan di Provinsi Yogyakarta,” ujar Ayu.
Sementara spesies-spesies lainnya masing-masing diberi nama Landouria naggsi, Landouria nusakambangensis, Landouria tholiformis, Landouria tonywhitteni, Landouria madurensis, Landouria sewuensis, Landouria sukoliloensis, Landouria nodifera, Landouria pacitanensis, Landouria zonifera, Landouria pakidulan, Landouria dharmai, dan Landouria menorehensis.
Ayu menjelaskan hasil penelitian mengungkapkan bahwa Landouria merupakan keong darat yang memiliki keanekaragaman spesies tinggi di Jawa. Sebagian besar adalah hewan endemik atau hanya memiliki sebaran di daerah-daerah tertentu di Jawa.
“Keanekaragaman spesies Landouria tertinggi sebanyak 19 spesies terdapat di dataran rendah di bawah 500 mdpl. Keragaman tersebut berkurang dengan meningkatnya ketinggian,” ujar Ayu.
Menurut Ayu, hanya lima spesies yang tercatat berada pada ketinggian di atas 1000 mdpl, dan hanya dua spesies yang diketahui memiliki sebaran hingga ketinggian di atas 2000 mdpl. “Karena sebaran yang terbatas inilah, hewan endemik seperti Landourias terhadap ancaman kepunahan.”
“Ternyata di Jawa itu hampir di tiap gunung, atau lokasi karst (kapur) memiliki jenis Landouria yang berbeda. Dan masih ada kemungkinan bertambah jenis barunya, karena saya belum koleksi ke semua gunung di Jawa,” kata Ayu.
Peneliti yang baru bergabung dengan LIPI tahun 2019 ini mengatakan beberapa spesies keong darat yang baru terungkap tersebut masih banyak ditemukan di habitat aslinya.
“Tapi ada dua spesies yang saya kurang tahu dia masih ada atau tidak. Karena ditemukan dari koleksi lama Museum Zoologicum Bogoriense yang ada di LIPI dan Zoologisches Museum Amsterdam (sekarang koleksinya ada di Naturalis, Leiden). Sedangkan satu spesies di antaranya malah koleksi tahun 1927-1932,” kata Ayu.
Ia mengungkapkan perubahan dan kehilangan habitat merupakan salah satu contoh ancaman yang sedang dihadapi oleh Landouriadi Jawa. “Yang dikhawatirkan adalah mereka sudah keburu hilang sebelum ditemukan. Kan sedih”.
Terkait adanya perizinan eksplorasi dan eksploitasi karts yang banyak menjadi habitat keong darat Landouria ini, ia hanya menduga mereka yang berperan mengambil kebijakan bimbang untuk memilih antara memanfaatkan sumber daya untuk memasok kebutuhan pembangunan negara ataukah lebih baik menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia.
Oleh karena itu, menurut dia, konservasi dan pengungkapan keanekaragaman hayati Indonesia sangat penting dan mendesak untuk dilakukan.
Baca juga: Cecak spesies baru ditemukan di Gunung Muria Jateng
Baca juga: Kerangka dinosaurus misterius terjual 2,3 juta dolar di Paris
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019