"Indonesia bukan tanah tandus yang tidak bisa ditumbuhi berbagai keberagaman suku, agama, ras dan golongan," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.
Hal itu dikatakannya usai membaca naskah Pembukaan UUD 1945 di upacara peringatan Hari Lahir Pancasila, di Gedung Pancasila, Jakarta, Sabtu (01/06).
Dia mengatakan, selama 73 tahun sejak kemerdekaannya, berbagai perbedaan bisa tumbuh dengan harmonis di Indonesia.
Namun menurut dia, menjelang HUT Kemerdekaan ke-74, bangsa kita dihadapi tantangan intoleransi dan radikalisme yang semakin menguat.
"Karenanya, sangat penting bagi kita semua untuk sejenak merenung dan kembali mengingat jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Sehingga kita bisa kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai pegangan hidup dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Dia juga menyoroti laporan Setara Institute yang menemukan di sepanjang tahun 2018 ada 160 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) dengan 202 bentuk tindakan yang tersebar di 25 provinsi.
Menurut dia, intoleransi di berbagai bidang juga cenderung menguat, termasuk dalam bidang politik dan pemerintahan.
"Bahkan yang paling ironis, survei IDN Research Institute dan Alvara Research Center 2019 mencatat 19,5 persen generasi milenial menyatakan Indonesia lebih ideal menjadi negara khilafah. Benih-benih intoleransi maupun keinginan mengubah dasar negara seperti ini harus disikapi secara serius," katanya.
Bambang menilai agar penguatan toleransi, pemajuan kesetaraan hak, dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan, serta penguatan rasa kebangsaan harus dimulai dari para elite politik.
Menurut jika politik abai terhadap hal ini, dan lebih mementingkan egoisme kekuasaan dengan memanfaatkan rakyat dalam kubangan perpecahan, jangan harap Indonesia akan tetap berdiri tegak.
"Elite politik harus menyadari bahwa Indonesia adalah rumah kita bersama yang perlu dijaga, bukan justru dibakar oleh egoisme kekuasaan. Kita punya Pancasila dan UUD 1945 sebagai pegangan," katanya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019