Puluhan jamaah Al Muhdlor yang tersebar di berbagai daerah di sekitar Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Senin menggelar shalat Idul Fitri 1440 H lebih awal dibanding mayoritas umat Islam pada umumnya di Indonesia.Perbedaan itu khilafiah, dan itu wajar dan diperbolehkan dalam Islam. Tidak perlu dipertentangkan
Bertempat di masjid Nur Muhammad yang terletak di Desa Wates, Kecamatan Sumbergempol, Tulungagung, para pengikut ajaran Habib Sayyid Ahmad Bin Salim Al Muhdlor merayakan lebaran pertama mereka dengan menggelar kenduri bersama usai shalat id dilakukan pada pukul 05.30 WIB.
Ritual shalat id diimami langsung oleh Habib Hamid Bin Ahmad Al Muhdlor, pengasuh pondok pesantren yang juga putra almarhum Habib Sayyid Ahmad bin Salim Al Muhdlor dan diyakini memiliki garis turun langsung dengan Nabi Muhammad SAW.
Menurut keterangan Habib Hamid Bin Ahmad Al Muhdlor, perayaan shalat Id lebih awal mereka lakukan setelah menjalani puasa Ramadhan selama 30 hari penuh.
"Kami melaksanakan puasa dua hari lebih awal dibanding umat Islam pada umumnya," kata Habib Hamid yang ditemui ANTARA sehari sebelumnya di dalam komplek pondok modern Al Khoiriyah.
Ia menegaskan pelaksanaan shalat id maupun puasa Ramadhan lebih awal itu bukan diputuskan sembarangan.
"Sudah ada hitung-hitungannya berdasar petunjuk ahli Falaq. Keyakinan ini juga sudah diikuti jamaah Al Muhdlor sejak lama, sejak masa Habib Sayyid Ahmad bin Salim Al Muhdlor masih hidup," kata Habib Hamid.
Namun, ia menegaskan bahwa dirinya dan para jamaah yang menggelar shalat id awal tak berkenan diliput media.
"Ibadah itu urusan yang sangat pribadi. Kami ingin menjalani ibadah dengan tenang dan tidak perlu menjadi sorotan yang nantinya justru memicu perdebatan di masyarakat karena kami menjalani ibadah shalat Id lebih awal dibanding umat Islam pada umumnya," katanya.
Habib Hamid mengatakan, penganut ajaran Al Muhdlor tidak hanya ada di Tulungagung dan sekitarnya. Tapi juga tersebar di sejumlah daerah di Indonesia dan berjejaring hingga di Mesir, Timur Tengah.
"Barometer kami (ajaran Al muhdlor) dari sana (Timur Tengah)," katanya.
Kendati berbeda aliran dalam hal pelaksanaan puasa dan Lebaran, tradisi yang dianut ajaran Al Muhdlor di Tulungagung lekat dengan tradisi Nahdliyyin (NU).
Hal itu sebagaimana diakui Habib Hamid yang menyatakan latar belakang Al Muhdlor berasal dari keluarga Nahdliyyin. Namun memang ada beberapa hal yang membuat mereka tidak selalu sama.
"Perbedaan itu khilafiah, dan itu wajar dan diperbolehkan dalam Islam. Tidak perlu dipertentangkan," ujarnya.
Jamaah Al Muhdlor yang mengikuti shalat id tidaklah banyak. Jumlahnya hanya puluhan dan mendekati angka seratusan menurut penuturan beberapa warga dan jamaah setempat.
Namun mayoritas bukan warga sekitar, melainkan para pengikut yang datang dari jauh.
"Memang hanya diikuti jamaah yang selama ini menjadi pengikutnya. Kalau masyarakat sekitar kebanyakan tetap shalat Id ikut ketetapan pemerintah," kata Aisyah, jamaah Al Muhdlor yang rumahnya tak jauh dari pondok Al Khoiriyah, Desa Wates.
Kendati berbeda keyakinan dalam hal penentuan 1 Syawal (Lebaran), Aisyah dan beberapa warga sekitar mengatakan hubungan mereka tetap baik.
Tradisi lebaran juga dilakukan seperti biasa. Banyak warga yang beranjangsana ke Habib Hamid setelah lebaran versi ketetapan pemerintah/ketetapan NU yang menjadi panutan mayoritas muslim di Desa Wates.
"Semua berjalan normal dan tidak ada gesekan. Hubungan kami dengan pihak pondok (Al Muhdlor) baik, demikian juga mereka juga baik ke masyarakat. Habib (Hamid) juga menyempatkan anjangsana ke rumah kami, warga sekitar," kata Mur, tetangga dekat dan masih kerabat tua Habib Hamid. (*)
Baca juga: Jamaah Nasqhabandiyah Padang sudah berlebaran
Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019