"Sampah yang masuk ke Indonesia, yang ada plastik itu, pasti tidak legal. Dan pada dasarnya ketentuannya ada, oleh karena itu kita akan melakukan reekspor," kata Siti usai melakukan halalbihalal dengan jajarannnya di Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin.
Menurut dia, masuknya sampah-sampah plastik secara ilegal ke Indonesia sebenarnya bukan baru pertama terjadi. Pada 2015-2016, Indonesia juga sempat melakukan reekspor puluhan kontainer.
"Langkah-langkahnya (reekspor) sudah bisa dilakukan. Hari ini akan dirapatkan di tingkat Dirjen. Pasti kita akan rapat dengan Bea Cukai, Menko Ekuin (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) dan (Menteri) Perdagangan," ujar Siti.
Sebelumnya Peneliti ICEL Fajri Fadillah mengatakan dua aturan tentang sampah impor yaitu Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31/M-DAG/PER/5/2016 tentang Impor Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun sudah cukup kuat untuk mengontrol impor limbah. Namun implementasinya yang masih perlu diawasi.
"Pemerintah perlu mengevaluasi kembali perusahaan yang memiliki izin impor plastik dan paper scrap, apakah sudah sesuai perizinan, dan apakah praktik yang mereka lakukan tidak mencemari lingkungan," kata Fajri.
Indikasi impor sampah plastik ini ditemukan secara nyata di beberapa daerah di Indonesia, seperti Gresik, Jawa Timur. Beberapa bentuk sampah seperti serpihan plastik bercampur kertas yang tidak bisa didaur ulang, yang biasanya digunakan untuk bakar tahu atau bahan bakar lainnya, serta sampah plastik, yang bentuknya beragam berupa jenis botol, sachet, kemasan makanan, personal care, serta produk rumah tangga ditemukan di sana.
Pemerintah seyogyanya mengusut tindakan impor sampah plastik tersebut, sampai mencabut persetujuan impor terhadap importir produsen kertas yang melakukan pembiaran terhadap sampah plastik yang terjadi, lanjutnya.
Impor sampah plastik yang terjadi di Gresik Jawa Timur merupakan kegiatan yang dilarang dan diancam pidana menurut Pasal 29 Ayat (1) Huruf b jo Pasal 37 Ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
"Penyidik harus mengusut tindakan impor sampah plastik tersebut. Selain itu Menteri Perdagangan harus mencabut persetujuan impor terhadap importir produsen kertas yang melakukan pembiaran terhadap sampah plastik yang mereka impor. Lebih lanjut lagi, permohonan persetujuan impor harus ditinjau ulang oleh Mendag dengan mengkonsultasikannya dengan Ditjen PSLB3 KLHK," kata Fajri.
Pada 2018, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan impor sampah plastik Indonesia sebesar 141 persen (283.152 ton), angka ini merupakan puncak tertinggi impor sampah plastik selama 10 tahun terakhir, di mana pada 2013 impor sampah plastik Indonesia sekitar 124.433 ton. Namun peningkatan impor sampah plastik tidak dibarengi dengan angka ekspor, malah pada 2018 angka ekspor menurun 48 persen (98.450 ton).
Angka ini menandakan ada 184.702 ton sampah yang masih ada di Indonesia, di luar beban pengelolaan sampah domestik di negara sendiri, ujar Fajri.
Pegiat lingkungan dari BaliFokus Mochamad Adi Septiono sebelumnya juga mengatakan Indonesia perlu mengantisipasi dampak kebijakan National Sword dari China yang membatasi secara ketat impor sampah plastik. Negeri Tirai Bambu sebelumnya menyerap 45,1 persen sampah dunia, namun sejak Maret 2018 telah membatasi impor sampah.
"Sampah-sampah yang dihasilkan oleh negara-negara seperti Amerika biasanya dikirim ke China, kini setelah Cina melakukan kebijakan tersebut, negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam menjadi sasarannya," ujar dia.
Baca juga: Aktivis sebut Indonesia jadi tujuan limbah plastik impor
Baca juga: Indonesia perlu antisipasi kebanjiran impor sampah plastik
Baca juga: Pemerintah Larang Impor Sampah
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019