• Beranda
  • Berita
  • Bayang-bayang perang dagang dan desakan reformasi WTO

Bayang-bayang perang dagang dan desakan reformasi WTO

11 Juni 2019 14:00 WIB
Bayang-bayang perang dagang dan desakan reformasi WTO
Suasana sesi foto bersama para menteri saat mengikuti Pertemuan Tingkat Menteri G20 mengenai Perdagangan dan Ekonomi Digital di Tsukuba, Ibaraki, Jepang, Sabtu (8/6/2019) (ANTARA/Satyagraha)

Kepercayaan orang untuk perdagangan dan investasi bisa semakin pudar, sehingga pada akhirnya masing-masing mengandalkan konsumsi dalam negeri

Pertemuan Tingkat Menteri G20 mengenai Perdagangan dan Ekonomi Digital di Tsukuba, Ibaraki, Jepang, pada 8-9 Juni 2019 baru saja usai.

Meski demikian, cuaca Tsukuba yang dingin dan berangin tidak berdampak kepada suasana diskusi yang justru menghangat antar-anggota delegasi.

Pertemuan Menteri Perdagangan yang tergabung dalam negara-negara G20 ini dibayang-bayangi oleh tingginya tensi perang dagang.

Semua bermula dari penerapan tarif bea masuk oleh Amerika Serikat (AS) atas barang-barang impor asal China, yang langsung dibalas hal yang sama oleh negara Tirai Bambu itu.

Kondisi yang telah terjadi sejak kurang lebih tiga tahun terakhir ini telah menganggu kinerja perdagangan internasional, terutama di negara-negara berkembang.

Ego antara dua negara besar tersebut telah mengurangi permintaan global dan kondisinya diperkirakan tidak akan selesai dalam waktu dekat.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan pertumbuhan perdagangan global hanya sebesar 2,6 persen pada 2019 dan berpotensi mengalami revisi turun pada semester II.

Proyeksi ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi global yang tercatat sebesar 4,0 persen pada 2017 dan 3,6 persen pada 2018.

Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memproyeksikan perang dagang dapat menurunkan 0,5 persen PDB global atau senilai 455 miliar dolar AS pada 2020.

Untuk itu, pertemuan selama dua hari ini fokus untuk mencari solusi guna meredakan tensi perang dagang agar tidak meningkat tinggi.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut mewakili pemerintah menyatakan Indonesia sudah menyampaikan keprihatinan atas kondisi saat ini.

Enggartiasto mengatakan tingginya tensi perang dagang saat ini membuat defisit kepercayaan (trust deficit) di antara negara-negara G20 atas pelaksanaan sistem multilateral menjadi sangat rendah.

Salah satu upaya memperbaiki kerja sama multilateral yang mulai ditinggalkan dalam dunia perdagangan internasional adalah melalui reformasi WTO.

Dalam forum ini, Indonesia ikut menekankan pentingnya pembaruan dalam tubuh WTO yang mulai kewalahan dalam menangani persoalan sengketa dagang.

Reformasi WTO

Enggartiasto mengatakan WTO yang tidak berfungsi maksimal merupakan persoalan bersama yang harus dicari solusinya dalam forum ini.

"Ini persoalan besar bagi dunia dan G20, maka diminta betul peranan kita untuk mengatasi ini," katanya saat ditemui di sela-sela pertemuan tersebut.

Untuk itu, penguatan peran WTO melalui reformasi harus dilakukan agar harapan terhadap keberadaan lembaga ini tidak makin mengecil dan membahayakan kondisi perdagangan global.
 
Suasana sesi rapat para menteri saat mengikuti Pertemuan Tingkat Menteri G20 mengenai Perdagangan dan Ekonomi Digital di Tsukuba, Ibaraki, Jepang, Sabtu (8/6/2019) (ANTARA/Satyagraha)


Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iman Pambagyo menambahkan peran WTO atas negosiasi serta pengawasan sudah tidak berjalan dengan baik.

Peran lainnya yaitu penyelesaian sengketa juga terancam tidak berfungsi karena kosongnya anggota appellate body di WTO yang bertugas mengatasi sengketa.

Penunjukan anggota appellate body masih menghadapi masalah karena adanya veto dari AS sehingga berpotensi memperlambat penyelesaian konflik dagang.

"Anggota appellate body itu harus ditetapkan segera, kalau tidak ada sampai Desember, maka fungsi sistem penyelesaian sengketa akan berhenti," kata Iman.

Padahal saat ini persoalan perdagangan cenderung diselesaikan secara unilateral atau sepihak karena adanya defisit kepercayaan di dunia internasional.

Dengan kondisi tersebut, maka pembenahan tubuh WTO menjadi penting, agar situasi perdagangan global tidak makin melemah.

"Kita harus membenahi WTO, kalau WTO tidak sempurna, bukan berarti WTO-nya ditinggal atau semua diblok, kita harus duduk bicara untuk perbaikan WTO," ujarnya.

Ia menjelaskan pembenahan sistem kerja sama multilateral untuk penguatan kinerja perdagangan global ini sangat penting agar pertumbuhan ekonomi tidak terus mengalami kelesuan.

Situasi konflik yang terus berlarut-larut dalam jangka pendek dapat menekan kinerja ekspor maupun investasi dan akhirnya menurunkan kegiatan ekonomi.

"Kepercayaan orang untuk perdagangan dan investasi bisa semakin pudar, sehingga pada akhirnya masing-masing mengandalkan konsumsi dalam negeri," ujarnya.

Pernyataan bersama

Dalam menghadapi kondisi yang makin sulit dalam enam bulan ke depan, para peserta delegasi dalam pernyataan bersama (ministerial statement) menyepakati pentingnya penguatan kinerja perdagangan.

Beberapa poin pernyataan tersebut antara lain menyetujui upaya untuk meneruskan perdagangan yang bebas, terbuka, adil, tanpa diskriminasi, transparan, mudah diprediksi, stabil, dan sesuai lingkungan investasi.

Selama ini perdagangan internasional juga sudah terbukti mampu meningkatkan produktivitas, menciptakan inovasi maupun lapangan kerja, dan mendukung pengembangan.

Forum juga memastikan pentingnya peran WTO dalam menciptakan kesempatan dan menangani berbagai tantangan dalam bidang perdagangan.

Namun pertemuan kali ini juga menelurkan pernyataan bersama yang diusulkan oleh Jepang (chairs statement) sebagai Ketua Presidensi G20 pada 2019.

Pernyataan chairs statement ini lahir untuk mengakomodasi poin-poin yang belum disepakati dari pernyataan bersama para menteri.

Salah satu poin itu antara lain meminta adanya mitigasi risiko untuk mengurangi tensi perang dagang, termasuk meningkatkan kepercayaan dan sentimen investasi di kalangan eksportir maupun investor.

Selain itu, berbagai pernyataan ini menghadapi tantangan selanjutnya dalam tataran implementasi, karena bukan merupakan kesepakatan yang mengikat.

Seluruh dunia harus menyadari bahwa perang dagang tidak menguntungkan bagi perekonomian negara maju dan berdampak negatif bagi negara berkembang.

Perang dagang merupakan kemunduran dalam era globalisasi yang serba terbuka dan menekankan adanya percepatan pergerakan arus barang serta jasa.

Untuk itu, kesadaran untuk menurunkan ego dari pihak-pihak yang bertikai juga menjadi sangat mendesak karena kelangsungan perdagangan internasional menjadi taruhannya.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019