Jakarta (ANTARA News) - Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) membantah pernyataan sejumlah LSM internasional bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit memicu perubahan iklim di seluruh dunia, karena menyumbang pada hilangnya hutan-hutan gambut Indonesia.
"Pohon-pohon kelapa sawit itu juga menyerap CO2, bahkan lebih besar lagi dibanding dengan hutan kayu," kata Sekretaris Timnas BBN Dr Unggul Priyanto kepada ANTARA News di Jakarta, Kamis.
Doktor lulusan Kyushu University, Jepang, itu menjelaskan bahwa karbon selain diserap pada daun dan batang juga disimpan dalam minyak sawit.
Jika produktivitas minyak sawitnya tinggi sampai rata-rata 4 ton per ha atau 20 ton per ha per tahun, menurut Direktur Pengembangan Sumber Daya Energi BPPT itu, berarti semakin menyerap banyak karbon dari udara.
"Dibanding kayu hutan yang 50 tahun begitu-begitu saja ya tentu saja lebih banyak pohon kelapa sawit dalam menyerap karbon. Itu logika kimianya," kata alumni Teknik Kimia ITB itu.
Dengan menanam kelapa sawit, urainya, justru dunia diuntungkan karena bahan bakar fosil bisa digantikan oleh bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan terbarukan sebanyak 10 persen.
Menurut dia, yang lebih dikhawatirkan oleh Greenpeace dan sejumlah LSM lain adalah keanekaragaman hayati dari hutan yang memang berkurang.
"Namun soal itu kan kita juga pilih-pilih dalam pembukaan perkebunan, perhutani juga kan sudah mengerti soal pentingnya keanekaragaman hayati itu," katanya.
Secara ekonomi, lanjut dia, menjual minyak sawit juga jauh lebih menguntungkan bagi Indonesia daripada mengharapkan kayu hutan, selain menguntungkan dalam segi devisa dari minyak sawit, juga mengurangi beban kenaikan harga BBM dengan produk biodieselnya.
Timnas BBN juga memiliki visi melepaskan masyarakat dari pengangguran dengan membuka perkebunan sawit dan membuat pabrik biofuel, sementara hutan tidak banyak memberi pilihan bagi masyarakat yang tingkat penganggurannya tinggi, ujarnya.
"Saya kira mereka, orang Barat itu juga punya agenda tertentu, karena sawit hanya produktif ditanam di kawasan tropis, jika ditanam di tempat mereka produktivitasnya rendah maksimal 1,7 ton per hektar," katanya dengan nada jengkel.
Sebelumnya, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Hapsoro mengatakan, perubahan dari hutan ke perkebunan tidak hanya merusak hutan yang berharga, namun juga menjadikan Indonesia sebagai penyumbang gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia.
"Salah satu penyebabnya adalah kerusakan di hutan lahan gambut Kalimantan dan Sumatera, terutama untuk produksi kelapa sawit,? katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008