Direktur Eksekutif Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, Syahrudin Ariestal Douw, di Palu, Senin, mengatakan banjir bandang di Morowali beberapa waktu lalu akibat dari pengelolaan industri pertambangan yang tidak ramah lingkungan.
"Dalam catatan Jatam Sulteng, sejak tahun 2009 hingga 2015, pemerintah secara mudah mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) di Morowali," ucap Etal, sapaan akrab Syahrudin Ariestal Douw.
Menurut catatan Jatam Sulawesi Tengah, terdapat 104 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan dengan kegiatan eksplorasi dan operasi produksi di Morowali. "Terdapat 58 kegiatan pertambangan dengan berbagai jenis di Kabupaten Morowali dengan luas lahan 127 ribu hektare," ujar Etal.
Lahan operasi pertambangan yang luas di Morowali menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas atau daya dukungan lingkungan, yang dapat memberikan dampak terjadinya bencana alam.
Walhi Sulawesi Tengah juga menyoroti kegiatan tersebut yang memberikan dampak buruk terhadap kualitas lingkungan. LSM ini mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi terhadap kegiatan pertambangan di Morowali, untuk mencegah terjadinya bencana yang lebih besar dan memberikan dampak besar.
"Bila perlu pemerintah daerah mencabut izin-izin bermasalah, karena sudah pasti berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan hutan, serta berkontribusi pada banjir," kata Manajer Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Sulawesi Tengah, Stevandi, di Palu, Senin.
Dalam catatan Walhi, tercatat 189 Izin Usaha Pertambangan yang terbit di Morowali pada tahun 2012. Menurutnya, seharusnya pemerintah daerah sebelum mengeluarkan kebijakan benar-benar mempertimbangkan aspek lingkungan, agar tidak terjadi dampak buruk pada lingkungan, seperti banjir yang terjadi saat ini.
Baca juga: Lalu lintas Trans Sulawesi di Morowali belum juga pulih
Baca juga: Tim SAR evakuasi jenazah korban banjir Morowali Sulteng
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019