"Menyatakan terdakwa Ferry Suando Kaban terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun ditambah denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Joni di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang meminta agar Ferry divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Putusan tersebut berdasarkan dakwaan kedua pasal 12 huruf b UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ferry dinilai terbukti menerima suap dari Gubernur Sumatera Utara 2011-2015 Gatot Pujo Nugroho sejumlah Rp772,5 juta, namun ia baru mengembalikan Rp20 juta sehingga ia harus membayar uang pengganti sejumlah Rp752,5 juta.
"Menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp752,5 juta Selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh hukum tetap. Jika dalam jangka waktu tersebut terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti dan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi maka dipidana penjara selama 7 bulan," ungkap hakim Joni.
Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman pencabutan hak politik terdakwa.
"Menjatuhkan pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik kepada para terdakwa selama 3 tahun setelah terdakwa menyelesaikan hukuman pokoknya," ungkap hakim Joni.
Ferry Suando diketahui pernah buron selama 4 bulan dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 28 September 2018 karena Ferry mangkir dari panggilan penyidik tanpa alasan jelas.
Baru pada 11 Januari 2019, Ferry ditemani sang istri mendatangi Polsek Kelapa Dua dan setelah melalui pemeriksaan singkat, Ferry diserahkan ke KPK ditemani istrinya. Pada hari itu juga ia ditahan di rutan cabang KPK di belakang gedung Merah Putih hingga saat ini.
Uang suap Rp772,5 juta itu dalam dakwaan digunakan untuk empat kegiatan yaitu pertama, pengesahan terhadap LPJB Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi Sumut tahun anggaran (TA) 2012.
Pembagiannya, anggota DPRD masing-masing mendapat bagian sebesar Rp12,5 juta; sekretaris fraksi mendapat sebesar Rp17,5 juta; ketua fraksi mendapat Rp20 juta; wakil Ketua DPRD mendapat tambahan Rp40 juta; dan ketua DPRD mendapat tambahan Rp77,5 juta.
Kedua, pengesahan terhadap APBD Perubahan Sumut TA 2013. Wakil Ketua DPRD Sumut saat itu Kamaluddin Harahap kembali meminta "uang ketok" sebesar Rp2,55 miliar.
Pembagiannya adalah anggota DPRD masing-masing mendapat bagian sebear Rp15 juta; anggota badan anggaran (banggar) mendapat tambahan sebesar Rp10 juta; sekretaris fraksi mendapat sebesar Rp10 juta; ketua fraski mendapat tambahan Rp15 juta; wakil Ketua DPRD mendapat tambahan Rp50 juta; dan ketua DPRD mendapat tambahan Rp150 juta.
Ketiga, pengesahan APBD Sumut TA 2014. Pembagiannya melalui bendahara dewan yaitu Muhammad Alinafiah agar seolah-olah anggota DPRD provinsi Sumut mengambil gaji dan honor lain setiap bulannya.
Keempat, pengesahan terhadap APBD Perubahan Sumut 2014 dan APBD Sumut tahun anggaran 2015. Untuk pengesahan kedua hal tersebut, anggota DPRD meminta Rp200 juta per anggota. Permintaan itu disanggupi dan akan diberikan setelah rancangan perda tentang APBD Sumut TA 2015 disetujui DPRD Sumut.
Atas putusan itu, Ferry dan JPU menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Baca juga: KPK tahan dua tersangka kasus suap DPRD Sumut
Baca juga: Seorang Anggota DPRD Sumut Didakwa Terima Suap Rp772,5 Juta
Baca juga: Seorang anggota DPRD Sumut dituntut 5 tahun penjara
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019