"Viktimisasi (kriminalisasi) pada perempuan masih saja terjadi. Juga 'stereotyping' kepada perempuan yang selalu dianggap sumber masalah," kata Rita dihubungi dari Jakarta, Selasa, menanggapi masih seringnya terjadi kawin kontrak memosisikan perempuan sebagai pihak yang bersalah.
Rita yang merupakan salah satu anggota Aisyiyah (salah satu organisasi otonom bagi wanita Muhammadiyah), mengatakan dalam proses kawin kontrak, pelakunya adalah laki-laki dan perempuan.
Namun, kata dia, yang sering dianggap menjadi sumber masalah adalah perempuan, padahal jika laki-laki juga menghargai perempuan maka tidak akan melakukan kawin kontrak.
"Perempuan itu bukan makhluk yang semua haknya tergantung laki-laki, tetapi dia juga bisa menentukan nasibnya sendiri. Laki-laki sebagai pasangan harus saling mendukung, sehingga dapat membawa keberkahan bagi semua," kata dia.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia itu mengatakan kawin kontrak selain banyak merugikan perempuan, juga bagi buah hati.
Anak, kata dia, tidak mengenal mantan bapak dan ibu karena sampai kapanpun dan bagaimanapun perkawinan kedua orang tuanya status relasi orang tua dan anak selalu melekat.
"Hak-hak anak akan banyak terabaikan jika orang tuanya menikah kontrak. Karena orang tua hanya mengejar relasi dalam jangka waktu tertentu. Orang tua harus berpikir nasib anak dan tidak hanya mengejar kesenangan semata," katanya.
Baca juga: Pemilik rumah jadi tersangka kasus kawin kontrak
Baca juga: Kawin kontrak diharamkan dalam agama Islam
Baca juga: Fenomena praktik kawin kontrak mengkhawatirkan
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019