Asia Tenggara telah menyaksikan lonjakan yang mengerikan impor sampah plastik dan elektronik dari negara maju setelah pendaur-ulang papan atas dunia, China, melarang impor, sehingga jutaan ton sampah sampah dialihkan ke negara yang kurang memiliki peraturan.
Thailand mulai Kamis menjadi tuan rumah pertemuan empat hari para pemimpin 10 negara Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) guna membahas masalah paling mendesak di wilayah itu, termasuk sampah plastik di samudra.
"Greenpeace Southeast Asia menuntut para pemimpin ASEAN menaruh masalah ini pada agenda selama pertemuan puncak tahun ini dan mengeluarkan deklarasi bersatu guna menangani krisis sampah plastik di wilayah ini," kata kelompok tersebut di dalam satu pernyataan.
"Deklarasikan larangan segera atas semua impor sampah plastik," desak Greenpeace.
Demi kepentingan ASEAN lah, yang pertemuan mereka tahun ini diselenggarakan dengan tema kesinambungan, untuk melarang perdagangan sampah, kata satu kelompok lingkungan hidup Thailand.
"Menyambut sampah plastik dan elektronik dari luar negeri atas nama pembangunan harus diakhiri segera," kata Penchom Saetang, Direktur Ecological Alert and Recovery Thailand (EARTH) Foundation.
Sebagian negara Asia Tenggara dalam beberapa bulan belakangan ini telah melakukan tindakan guna mencegah aliran sampah.
Indonesia adalah yang paling akhir menolak impor sampah dari Kanada, setelah tindakan serupa oleh Malaysia dan Filipina.
Thailand tidak melarang impor sampah plastik, tapi bertujuan mengakhirinya sampai 2020. Thailand memberlakukan sebagian larangan atas sampah elektronik.
Greenpeace juga mendesak negara ASEAN agar mensahkan amandemen Konvensi Basel, yang berusia 30 tahun, kesepakatan PBB mengenai gerakan dan pembuangan sampah berbahaya, untuk membatasi aliran sampah plastik ke negara berkembang.
Sumber: Reuters
Pewarta: Chaidar Abdullah
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2019