Tingginya tingkat kebutuhan perjalanan, jumlah kepemilikan kendaraan bermotor, serta belum optimalnya transportasi massal menjadi sejumlah faktor yang membuat persoalan kemacetan di Ibu Kota tak kunjung usai.
Menurut survei Perhimpunan Studi Pengembangan Wilayah, setidaknya terdapat 18 juta kendaraan pribadi yang masuk ke Jakarta setiap hari.
Studi Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek bahkan menyebut jalanan Jakarta selama ini memang didominasi kendaraan pribadi motor sebanyak 70 persen, kendaraan nonroda dua sebanyak 25 persen.
Upaya Atasi kemacetan
Salah satu upaya pemerintah untuk mengurai kemacetan Jakarta adalah sistem ganjil genap yang menggantikan sistem 3-in-1 di ruas jalan protokol DKI.
Menurut Kasubdit Pembinaan Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya Kompol Muhammad Nasir sistem ganjil genap cukup membantu mengurai kemacetan di Ibu Kota.
Hasil survei sistem ganjil-genap oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Perhubungan saat penyelenggaraan Asian Games 2018 menunjukkan 24 persen pengguna kendaraan pribadi beralih menggunakan angkutan umum.
Dari 24 persen masyarakat yang beralih menggunakan angkutan umum tersebut, sebanyak 38 persen memilih menggunakan jasa angkutan umum massal, seperti Transjakarta atau bus umum dan kereta rel listrik (KRL).
Kehadiran moda raya terpadu (MRT) yang diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Bundaran Hotel Indonesia, 24 Maret lalu, menurut Nasir, mampu mengurangi beban jalan secara operasional.
Nasir kepada ANTARA di Jakarta, Selasa, menyebutkan MRT mampu mengangkut 17.000 sampai 18.000 orang per hari. Di dalam kendaraan pribadi, setidaknya ada dua sampai tiga orang sehingga akan mengurangi jumlah sekitar 5.600 kendaraan pribadi.
Bahkan, kehadiran light rail transit (LRT) yang mulai Selasa (11/6) telah dibuka untuk uji coba melewati lima stasiun, yaitu stasiun Boulevard Utara, Boulevard Selatan, Pulomas, Equestrian, dan Stasiun Velodrome, dijanjikan dapat mengatasi kemacetan yang terjadi di kawasan metropolitan Jakarta.
LRT Jabodebek diproyeksikan membawa 500 ribu penumpang per hari dengan perincian menggunakan 31 rangkaian kereta. Dalam setiap satu rangkaian, mampu membawa sekitar 720 orang, dalam 6 gerbong.
Baca juga: LRT Jabodebek dijanjikan bakal atasi kemacetan metropolitan Jakarta
Sementara itu, sistem transportasi bus rapid transit (BRT) pertama di Asia Tenggara dan Selatan yang beroperasi sejak 2004 di Jakarta, Transjakarta akan menambah lima rute baru tiap bulannya.
Agenda menambah lima rute baru tiap bulan itu sebagai strategi mencapai target satu juta penumpang per hari.
Dari data PT Transportasi Jakarta (Transjakarta), hingga saat ini, jumlah penumpang Transjakarta per harinya telah mencapai sekitar 800.000 orang, atau sedang menuju 900.000 orang.
Selain terus membuka rute-rute baru, Transjakarta juga akan menambahkan jumlah bus kecil dari semula 904 unit menjadi 1.441 unit mulai Juli hingga Oktober mendatang.
Upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI untuk mendorong transportasi umum ternyata membuahkan hasil. Menurut hasil survei Tom Tom Traffic Index, yang dirilis belum lama ini, kemacetan lalu lintas Jakarta berkurang hingga 8 persen pada tahun 2018.
Hasil survei tersebut menempatkan Jakarta sebagai kota dengan kemacetan parah ketujuh di dunia, naik dari peringkat keempat pada tahun 2017.
Baca juga: Transjakarta akan tambah lima rute baru tiap bulan
Perlu perbaikan
Namun, pengamat transportasi, Azas Tigor Nainggolan, menilai penambahan moda transportasi umum tidak cukup untuk menuntaskan masalah kemacetan di Jakarta.
Pertama, kata Azas, angkutan diperbaiki, kemudian ada kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
Soal kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan bermotor pribadi, menurut dia, ERP bisa jadi solusi. ERP (electronic road pricing) atau sistem jalan berbayar merupakan sistem skema pengumpulan tol elektronik untuk mengatur lalu lintas dengan cara jalan berbayar, sebagai mekanisme perpajakan.
Selanjutnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu melakukan upaya membuat transportasi umum lebih nyaman sehingga masyarakat mau berpindah dari transportasi pribadi ke transportasi umum.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu lebih mengintegrasikan antartransportasi publik. Upaya integrasi bukan cuma fisik, melainkan juga layanan pembelian tiket.
Organisasi Angkutan Darat (Organda) menyebutkan ternyata baru 7 persen dari total mikrolet yang sudah terintegrasi dengan Transjakarta.
"Dari total 12.000 unit, baru sebanyak 800 mikrolet yang teritegrasi. Kalau berbicara upaya menekan kemacetan, tentu angka ini cukup kecil," kata Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan.
Baca juga: Baru tujuh persen mikrolet yang terintegrasi Transjakarta
Transportasi umum yang belum terintegrasi di Jakarta tampaknya dirasakan warga Depok, Jawa Barat, Herman (38). Karyawan swasta yang berkantor di Jakarta Pusat itu, mengaku harus melanjutkan perjalanan menggunakan KRL dengan angkutan private untuk menuju kantor.
"Untuk angkutan publik harus dibuat terintegrasi. Pemerintah harus fokus mana transportasi yang mau dikembangkan. Kalau sekarang adanya transportasi umum berbasis private, seperti Gojek Grab saja yang enak," ujar Herman.
Sementara itu, warga asal Bogor Agustin Setyo Wardhani (30) yang tiap hari menggunakan transportasi umum untuk bekerja di kawasan Jakarta merasa nyaman dan terbantu dengan kehadiran rute-rute baru Transjakarta.
"Seneng, sih, sekarang Transjakarta sudah lewat jalur-jalur kecil yang tadinya enggak dilewati, jadi bisa hemat ongkos daripada naik ojek daring (online)," kata Agustin.
Perbaikan transportasi umum juga dirasakan Aditya Gema Pratomo (28), karyawan swasta. Menurut dia, saat ini headway atau waktu tiba antara dua bus Transjakarta makin cepat. Begitu pula, MRT yang dia rasa memang mampu menembus kemacetan Ibu Kota.
Warga DKI yang berdomisili di Jakarta Timur itu berharap Jakarta makin lancar. Gubernur lebih aktif dalam membenahi lalu lintas. Transportasi umum semoga selalu dirawat agar masyarakat makin nyaman.
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019