Menelaah kebijakan ERP di Provinsi DKI Jakarta

18 Juni 2019 21:09 WIB
Menelaah kebijakan ERP di Provinsi DKI Jakarta
Kendaraan melintas di bawah alat electronic road pricing (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (12/11/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.
Menjelang hari ulang tahun ke-492, kemacetan masih menjadi salah satu persoalan yang kerap diidentikkan dengan Kota Jakarta.

Tingginya tingkat kebutuhan perjalanan, kepemilikan kendaraan bermotor yang semakin meningkat serta belum optimalnya transportasi massal menjadi sejumlah faktor yang membuat persoalan kemacetan ibu kota tak kunjung usai.

Pemerintah DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan membeberkan sejumlah langkah penanganan mengatasi permasalahan kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta.

Salah satunya melaksanakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan dengan penerapan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP).

"Jadi  kendaraan pribadi dibatasi. salah satunya dengan ERP," ujar kepala bidang angkutan umum Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Masdes Arroufy di kantornya, Selasa.

Ia mengatakan tujuan ERP adalah agar warga Jakarta dan warga luar Jakarta enggan membawa kendaraan pribadinya masuk ke tengah kota sehingga mengurangi kemacetan.

ERP merupakan sistem pengendalian kepadatan lalu lintas yang diterapkan melalui pemungutan retribusi secara elektronik terhadap pengguna kendaraan bermotor yang melewati sejumlah ruas jalan di Jakarta pada jam-jam tertentu.

"Hingga saat ini baru diuji coba di Jalan Sudirman-Thamrin, tapi sudah ada banyak rutenya terutama yang menuju Jakarta," ujar dia.

Penerapan ERP dimaksudkan agar pengguna jalan lebih mempertimbangkan dampak perjalanan mereka terhadap pengguna jalan lainnya sebelum melakukan perjalanan.
Diharapkan masyarakat meminimalisasi penggunaan kendaraan pribadi dalam perjalanan dan beralih menggunakan transportasi publik sehingga kepadatan lalu lintas dapat dikurangi.

Efektif
Sistem ERP diterapkan sejak lama di berbagai negara seperti Singapura dan terbukti efektif mengurangi persoalan kemacetan yang terjadi.

Mengapa diperlukan di Jakarta?
Pertama, persentase pertambahan volume kendaraan di Jakarta pada 2012-2013.

Data Polda Metro Jaya tahun 2013 menyebutkan jumlah kendaraan cenderung meningkat sebanyak 9,8 persen dimana hampir tiga perempat diantaranya (10,19 persen) didominasi sepeda motor, 9,92 persen mobil truk, 9,52 persen mobil pribadi, 3,34 persen ambulans dan mobil medis serta 0,31 persen bus

Kedua, pertumbuhan kapasitas jalan Jakarta nyaris konstan dengan tingkat pertambahan ruas jalan yang hanya sebesar 0,01 persen per tahun.

Total panjang jalan di Jakarta (diantaranya jalan kota madya 5.117.258 km, jalan provinsi 1.562.277 km, jalan negara 152.577 km, jalan tol 123.731 km. Berdasarkan data BPLHD Jakarta tahun 2013, jalan sepanjang itu baru memenuhi 60 persen kebutuhan perjalanan dan volume kendaraan di ibu kota saat ini.

Saat ini kendaraan pribadi 9,1 juta (98,9 persen) dan angkutan umum 104 ribu (1,1 persen). Sedangkan perjalanan dengan kendaraan pribadi didominasi 50,8 persen mobil pribadi, 23,9 persen sepeda motor dan 25,3 persen angkutan umum dari 25.737.000 perjalanan per hari.

Data dari BSTP Hubdat tahun 2007 menunjukkan bahwa kemacetan menimbulkan kerugian sekitar Rp42,9 triliun baik kerugian waktu, kesehatan, angkutan umum maupun kerugian BBM.

Kerugian material akibat kemacetan ini dikhawatirkan mencapai angka Rp60-70 triliun di tahun 2020 jika tidak segera ditangani.

Statistik kerugian akibat kemacetan di Jakarta meliputi kerugian waktu Rp20,3 triliun, kerugian kesehatan Rp5,4 triliun, kerugian angkutan umum Rp2,4 triliun, kerugian BBM motor Rp8,2 triliun dan kerugian BBM mobil Rp6,6 triliun.

Manfaat
Sedangkan manfaat ERP bagi masyarakat adalah memberi kenyamanan bertransportasi bebas kemacetan
mobilitas dan produktivitas meningkat
pendistribusian kepadatan lalu lintas yang lebih merata. Selain itu juga mendorong tersedianya moda transportasi publik yang beragam dan memadai

Bagi pemerintah, dengan ERP maka pengelolaan lalu lintas yang lebih baik, mengoptimalkan pemanfaatan infrastruktur transportasi, penghematan konsumsi BBM
serta meningkatkan pelayanan publik di bidang transportasi

Bagi lingkungan, ERP menurunkan emisi kendaraan dan menurunkan polusi serta tingkat kebisingan.

Tiga negara yang sukses melakukan ERP patut dicontoh. Yakni 
London  tahun 2003.

Sebanyak 72 perusahaan menilai ERP sebagai kebijakan yang tepat, penurunan kepadatan lalu lintas sebesar 20persen.

Selain itu, penurunan polusi udara sebesar 11-16 persen, pengguna bus bertambah sebesar 14 persen, peningkatan aktivitas ritel pada area padat lalu lintas sebesar 4 persen.

Stockholm menerapkannya sejak 2007. Sejak itu terjadi penurunan kepadatan lalu lintas sebesar 22-25 persen, penurunan polusi udara sebesar 14 persen, pengguna transportasi publik bertambah sebesar 8 persen dan peningkatan aktivitas ritrl sebesar 10 persen.

Singapura menerapkan sejak 1998 dan penurunan volume lalu lintas hingga 13 persen pada jam-jam diberlakukan ERP, rata-rata kecepatan di jalan raya meningkat 20 persen, pengguna carpools dan bus meningkat dari 41  menjadi 62 persen.
Baca juga: ERP DKI belum berjalan, London kenakan tarif kendaraan pengemisi
Baca juga: BPTJ desak Pemprov DKI Jakarta berlakukan ERP tahun ini
Baca juga: Anies sebut lelang ERP tunggu fatwa Kejaksaan Agung

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019