Peneliti IGJ Hafidz Arfandi mengatakan setidaknya ada dua faktor penyebab defisit neraca perdagangan Indonesia yang telah mencapai 2,5 miliar dolar AS berdasarkan data BPS pada triwulan pertama tahun 2019, yaitu nilai impor yang meningkat dan ekspor bernilai tambah yang masih rendah.
"Agresifitas FTA yang dijalankan pemerintah setidaknya harus diiringi peningkatan kapasitas produksi domestik terutama berbasis manufaktur, pertimbangan daya saing komoditas di pasar global, dan skema antisipatif mengelola ekspansi impor ke pasar Indonesia," ujarnya dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa.
Daya saing Indonesia di pasar dunia masih kurang dari satu atau berada dibawah rata-rata pasar global jika mengacu pada Revealed Comparative Advantage (RCA).
Dari 19 komoditas Indonesia, hanya empat yang memiliki nilai RCA di atas satu, yaitu kelapa sawit di angka 3.97, alas kaki di angka 1.57, kopi, teh, dan rempah yang turun di angka 1.32, serta timah di angka 6.66.
"Upaya pemerintah menggenjot ekspor ke pasar non tradisional, seperti zona Afrika, Asia Tengah, dan Amerika Latin, masih dipertanyakan keberhasilannya tanpa ada perbaikan struktural dalam kebijakan perdagangan Indonesia," imbuhnya.
IGJ juga mendesak pemerintah Indonesia agar tidak hanya bicara soal membuka peluang ekspor, namun juga menyusun penguatan strategi kebijakan Non-Tarrif Measures (NTMs) dalam menyiasati gempuran impor.
Selain itu, aturan dalam kerjasama FTA juga jangan sampai menjadi bumerang penyebab matinya industri lokal. IGJ menilai pemerintah perlu memiliki posisi runding yang dapat memperkuat industri lokal, seperti kewajiban penggunaan komponen dalam negeri, kewajiban transfer teknologi, hingga pembatasan ekspor bahan mentah.
Baca juga: Perombakan perjanjian FTA AS-Meksiko, dongrak kenaikan harga minyak
Baca juga: Kementerian Perdagangan siapkan FTA center
Pewarta: Yogi Rachman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019