Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyatakan tak mudah dan banyak kendala yang dihadapi oleh perempuan saat hendak melaporkan kasus kekerasan yang di alami dalam situasi darurat bencana.Banyak hal yang dipertimbangkan oleh perempuan, banyak kendala yang ia hadapi saat hendak ingin melaporkan kasus kekerasan yang di alami dalam bencana.
"Banyak hal yang dipertimbangkan oleh perempuan, banyak kendala yang ia hadapi saat hendak ingin melaporkan kasus kekerasan yang di alami dalam bencana," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian PPPA RI, Nyimas Aliah, di Palu, Rabu (19/6).
Pernyataan ini berkaitan dengan belum adanya laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masuk ke Polda Sulawesi Tengah, melalui Subdit IV Direktorat Reserse Kriminal Umum, dalam situasi darurat bencana.
Nyimas Aliah mengemukakan, dalam situasi darurat jarang ditemukan ada lembaga layanan yang siap melayani aduan/laporan perempuan korban kekerasan. Kemudian, sumber daya layanan, penanganan.
Namun, sebut dia, perempuan korban kekerasan saat hendak ingin melaporkan, bisa mendapat perlakuan kekerasan lebih parah dari sebelumnya.
"Ketika mereka mau melapor, mereka bisa mendapat kekerasan berlapis lagi," sebut Nyimas Aliah.
Apalagi, sebut dia, dalam konteks masyarakat yang masih kental dengan patriarki.
Baca juga: Butuh kerjasama lindungi perempuan di darurat bencana
"Nah ini satu problem dan tantangan serius yang dihadapi oleh kaum hawa. Setiap persoalan jika bisa diselesaikan dengan kasih sayang, mengapa harus dengan kekerasan," katanya.
Kesulitan perempuan saat hendak ingin melaporkan kasus kekerasan yang dialami, korban akan di interogasi dengan berbagai macam pertanyaan yang dapat menambah beban sekaligus bisa melemahkan perempuan korban kekerasan.
"Karena itu korban butuh pendamping. Apalagi kalau kasus pelecehan seksual yang di interogasi dengan kata-kata yang menyinggung perasaannya," katanya.
Tidak sedikit, sebut dia, perempuan korban kekerasan lebih memilih untiu diam, enggan berbicara ketika di interogasi dengan pertanyaan yang menyinggung perasaannya.
"Akhirnya korban lebih memilih diam, pertama karena masih trauma. Kedua, disudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan," katanya.
Selain itu, pihak yang berwajib tentu akan meminta bukti dan saksi. Kalau perempuan dipegang, lalu tidak ada visum yang bisa menguatkan, maka perempuan itu akan malu sendiri.
"Ini pertimbangan-pertimbangan perempuan sehingga lebih memilih tidak melaporkan kasus kekerasan yang dialami. Atau karena ada ancaman," urai Nyimas Aliah.
Nyimas Aliah menjadi salah satu pembicara dalam Rapat Koordinasi Perlindungan Perempuan dalam Bencana yang digelar oleh Kementerian PPPA bekerja sama UNFPA dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulteng, 18 - 19 Juni, di Palu.
Rakor itu melibatkan OPD terkait, Kanwil Kemenkum-HAM, Kemenag Sulteng, Polda Sulteng, Kejaksaan Tinggi Sulteng, Pengadilan, LSM, dan Pers. Rakor itu muaranya pada penyusunan rencana induk perlindungan perempuan dan anak dalam bencana.
Baca juga: Per tahun 13 juta perempuan alami kekerasan, sebut Kementerian PPPA
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019