Koordinator Pengawas (Korwas) PPNS Polda NTB Kompol Ridwan, saat dikonfirmasi Antara di Mataram, Kamis, mengakui bahwa pihaknya tidak menerima SPDP kasus penyalahgunaan visa kunjungan izin tinggal dua WNA yang bekerja di wilayah Sekotong, Kabupaten Lombok Barat tersebut.
"Untuk kasus dua WNA itu, kita tidak ada terima SPDP-nya," kata Kompol Ridwan yang ditemui wartawan di Polda NTB.
Namun sebelum tersiarnya kabar kegiatan tangkap tangan pegawai Kantor Imigrasi Kelas I Mataram tersebut, Ridwan mengaku menerima undangan gelar perkara yang disampaikan secara lisan oleh PPNS imigrasi. Terkait dengan kasus apa dan siapa yang bermasalah, Ridwan tidak mengetahuinya.
"Jadi beberapa hari sebelum muncul kabar tangkap tangan itu, saya dihubungi Ayub si PPNS-nya itu, ajak gelar perkara, tapi kembali dikabarkan lagi, gelarnya di pending, karena permintaan kepala, mungkin itu," ujarnya.
Dalam aturan penanganan perkara oleh PPNS, jelasnya, Korwas PPNS Polda NTB selalu dilibatkan. Selain koordinasi dan asistensi, Korwas PPNS Polda NTB tentunya mengetahui kepastian hukum dari sebuah penanganan perkara.
"Untuk setiap penanganan perkara oleh PPNS itu pastinya kita di sini tahu, karena itu bagian dari fungsi kita," ucapnya.
Hal senada turut disampaikan Kejari Mataram Ketut Sumadana yang mengatakan bahwa SPDP untuk kasus dua WNA tersebut tidak pernah masuk ke kantornya.
"Untuk kasus dua WNA ini, sampai sekarang kita tidak pernah terima SPDP-nya, tiba-tiba sudah muncul berita penangkapan," kata Sumadana.
Pernyataan tambahan muncul dari keterangan Ainudin, Kuasa Hukum dua WNA yang turut diperiksa penyidik KPK sebagai saksi. Ketika ditemui Antara di jam istirahat pemeriksaannya di lantai dua Gedung Ditreskrimsus Polda NTB, Ainudin mengaku hanya beberapa kali mendampingi kliennya menghadap imigrasi.
"Selama saya dampingi, tidak pernah saya lihat SPDP, hanya diberitahukan secara lisan saja, hak-hak klien saya selama berada di Indonesia juga tidak diberitahukan," kata Ainudin.
Meskipun secara resmi Ainudin berperan sebagai kuasa hukum keduanya, namun dia mengaku banyak tidak mengetahui progres penanganan perkara kliennya hingga menimbulkan persoalan suap tersebut.
Karena itu, dia pun menduga pihak imigrasi kerap bertemu dengan kedua kliennya dan manajemen Wyndham Sundancer Lombok Resort secara langsung, tanpa sepengetahuannya sebagai kuasa hukum.
"Jadi setelah persoalan ini muncul, baru saya tahu kalau imigrasi pernah beberapa kali bertemu dengan klien saya dan juga pihak hotel, itu tanpa saya," ucapnya.
Baca juga: Penyidik KPK lanjutkan pemeriksaan kasus Imigrasi Mataram
Baca juga: Imigrasi deportasi dua warga Australia pelanggar visa kunjungan
Baca juga: Pejabat Imigrasi Mataram kembali diperiksa penyidik KPK
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019