Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dan hanya menggunakan fintech peer to peer (P2P) lending yang legal, atau yang sudah terdaftar maupun berizin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).Demi memberikan perlindungan kepada masyarakat, AFPI menghimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam memilih penyelenggara Fintech Lending
“Demi memberikan perlindungan kepada masyarakat, AFPI menghimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam memilih penyelenggara Fintech Lending. Pastikan yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan,” kata Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis.
Tumbur menambahkan AFPI merupakan mitra OJK dalam mengawasi dan memberikan perlindungan kepada pelaku usaha dan masyarakat yang menggunakan jasa Fintech Lending. Seluruh praktek bisnis anggota AFPI mengacu arsitektur AFPI yang diawasi oleh Komite Etik. Arsitektur AFPI terdiri dari policy advocacy, code of conduct (CoC atau pedoman perilaku sebagai dasar AFPI menjalankan market conduct), literasi dan edukasi, data, knowledge, intelligence dan kolaborasi.
“AFPI telah melakukan serangkaian kebijakan, Code of Conduct dan hal-hal lainnya sekaligus melakukan literasi keuangan. Untuk itu AFPI juga mengharapkan masyarakat lebih bijak dan waspada terhadap keberadaan pihak-pihak ilegal tersebut,” katanya.
Tumbur melanjutkan, memasuki era digital 4.0 dengan ciri dan kemampuan global dan lintas negara secara online memiliki konsekuensi akan dampak negatif dari pihak-pihak yang memiliki tujuan negatif yakni ikut mendompleng dalam industri digital ini. Begitu juga dengan industri Fintech Lending yang saat ini mengalami kemajuan pesat yang mampu menciptakan alternatif pendanaan bagi masyarakat, juga terdapat para pelaku yang bertindak secara ilegal yang merugikan masyarakat.
Sebagai tindakan antisipatif, AFPI telah menerapkan standardisasi dan juga sertifikasi bagi proses penagihan, yakni pelarangan penyalahgunaan data nasabah dan kewajiban melaporkan prosedur penagihan. Selain itu, AFPI menerapkan Sertifikasi Manajemen Risiko Fintech Lending dan melakukan Pemutakhiran Manajemen Risiko di Industri 4.0 bagi seluruh anggotanya. Tidak hanya penagih, AFPI juga tengah melakukan pembekalan dan sertifikasi kepada para pemegang saham, komisaris dan direksi penyelenggara Fintech Lending.
Tak hanya itu, AFPI mendukung upaya OJK untuk meningkatkan perlindungan kepada masyarakat, yakni mengenai pembatasan akses data digital pribadi oleh Fintech Lending. Selama belum ada undang-undang (UU) perlindungan data pribadi yang bisa menjerat pelaku penyalahgunaan data ini, Fintech Lending hanya bisa mengakses data tiga fitur dari smartphone (gawai) nasabah peminjamnya, yakni kamera, mikrofon, dan lokasi.
“Ini yang membedakan antara fintech legal dan ilegal. Kalau ilegal pasti akan mengakses semua data pribadi nasabahya. Seluruh member AFPI diminta untuk taat pada aturan yang ditetapkan OJK ini,” ujar Tumbur.
Keberadaan fintech ilegal masih sangat merugikan industri Fintech Lending ini. Sejak Januari 2018, Satgas Waspada Investasi OJK telah memblokir 947 entitas fintech ilegal dimana untuk tahun 2019 sendiri mencapai 543 fintech ilegal yang diblokir dan pada 2018 sebanyak 404 fintech ilegal. Perusahaan fintech dikatakan ilegal karena tidak terdaftar di OJK, sesuai dengan Peraturan OJK No.77 Tahun 2016, bahwa seluruh penyelenggaran fintech lending harus sudah terdaftar OJK.
Data OJK mencatatkan hingga April 2019 jumlah pinjaman dari fintech lending yang terdaftar sebesar Rp37,01 triliun atau tumbuh 63,33 persen dibandingkan akhir tahun lalu atau year to date (ytd) Rp22,66 triliun. Dari sisi penyelenggara, saat ini sebanyak 113 fintech lending terdaftar dimana 7 fintech lending diantaranya berstatus berizin. Dari seluruh fintech lending ini, 6 diantaranya merupakan fintech syariah.
Baca juga: OJK tetap batasi akses data digital pribadi bagi pinjaman online
Baca juga: OJK dorong penerbitan UU perlindungan data pribadi
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019