"Situng tidak perlu didebatkan berlarut-larut karena dalam Undang-Undang Pemilu, bukan situng yang dijadikan acuan untuk melihat Jokowi atau Prabowo yang menang, melainkan hitung manual," kata Adi di Jakarta, Kamis.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu menyayangkan kecenderungan para saksi maupun ahli yang dihadirkan BPN menyerang KPU dengan mempersoalkan perolehan hasil hitung cepat (quick count), situng, dan hasil manual (real count).
"Seakan-akan itu untuk membangun kecurangan yang sistematis, ada kesamaan pola pikir dari quick count, situng dan real count," ujar dia.
Ia melanjutkan, "Mestinya BPN fokus pada hitung manual KPU. Apa yang dianggap merugikan Prabowo apakah suara Prabowo hilang banyak, puluhan juta sehingga kalah telak."
Sebelumnya, pada sidang lanjutan sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi, KPU menghadirkan saksi ahli Marsudi Wahyu Kisworo yang menjawab tudingan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam sistem informasi penghitungan suara (situng).
Baca juga: TKN nilai kesaksian saksi ahli KPU sukses bantah tuduhan kubu 02
KPU dikritik keras soal kesalahan pemasukan data pada situng KPU sehingga muncul dugaan menggelembungkan suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 01 dan mengurangi suara Pasangan Calon Nomor Urut 02.
Saksi ahli BPN Jaswar Koto, Rabu (19/6), memaparkan terdapat perbedaan data angka di situng dengan rekapitulasi Formulir C1 berdasarkan 63 TPS yang dipilih melalui sistem acak.
Jaswar menyebutkan kesalahan pemasukan data di 63 TPS itu menjadikan pasangan Jokowi-Ma'ruf mendapat tambahan suara sebesar 1.300, sementara pasangan Prabowo-Sandi berkurang 3.000 suara.
Saksi ahli lain yang dihadirkan pemohon, Soegianto Sulistiono, menyatakan bahwa pihaknya menemukan 57.000 data invalid dalam situng.
Baca juga: Pengamat: Saksi ahli BPN justru perkuat argumen KPU
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019