"Rasionalitas pembatasan wewenang mengadili antara sengketa proses dengan sengketa hasil, sesungguhnya merupakan bagian dari upaya pembentuk undang-undang mendorong terbangunnya etika dan sekaligus budaya politik yang makin dewasa," ujar Heru Widodo di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Jumat.
Heru Widodo mengatakan hal tersebut ketika memberikan keterangan selaku ahli dalam sidang perkara sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi dengan pemohon pasangan Prabowo-Sandi dan termohon KPU RI.
Baca juga: Sidang MK, ahli: signifikansi pelanggaran unsur penyelesaian sengketa
Upaya ini dijelaskan Heru Widodo dilakukan dengan cara membuat perumusan norma UU. Seseorang yang ikut dalam kontestasi pilpres tidak serta-merta "menggugat" suatu hasil pemilihan ke Mahkamah atas dasar persoalan-persoalan hukum pada tahapan pencalonan.
"Seharusnya tahapan pencalonan itu penyelesaiannya kepada lembaga yang diberi wewenang untuk itu, bukan Mahkamah," ujar Heru Widodo.
Menurut ahli, pembaharuan mengenai pengaturan penyelesaian perkara-perkara pemilu tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU untuk membangun struktur, substansi serta etika dan budaya politik yang makin dewasa, dengan pembatasan wewenang mengadili lembaga penegak hukum yang ditunjuk, dan pembatasan hak kepada peserta untuk “menggugat” sesuai tahapan pemilihan.
Pengaturan bagi peserta pemilu untuk mengajukan pembatalan atau diskualifikasi pada tahapan pencalonan yang dipisahkan dengan perselisihan hasil perolehan suara pada tahapan pascapenetapan hasil merupakan pembatasan yang logis, adil, dan dapat diterima secara hukum, tambah Heru Widodo.
"Hal ini tidak mencampur kewenangan dari lembaga penegakan hukum yang satu dengan yang lainnya, yang bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum," pungkas Heru Widodo.
Baca juga: Sidang MK, saksi ahli sebut pembuktian kecurangan TSM sangat rumit
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019