Akan tetapi, dia menyayangkan di tengah terbukanya peluang memanfaatkan celah perang dagang Amerika-China, justru kapasitas industri nasional melemah.
"Pemerintah harus memberi insentif untuk menyambut relokasi industri dari China terutama yang punya orientasi ekspor ke Amerika, atau membuat kontrak-kontrak alternatif agar produk kita bisa menjadi substitutif di pasar Amerika," kata Hafidz Arfandi saat dihubungi Antara, Minggu.
Menurut dia, perang dagang Amerika-China akan berlangsung dalam waktu yang lama dan tidak bisa ditentukan kapan berakhirnya. Untuk itu, pemerintah Indonesia harus bisa menjadi pemain substitutif dari kedua negara tersebut.
"RCA (Revealed Comparative Advantage) kita relatif rendah, justru kita terdampak negatif ke China. Mayoritas ekspor kita bahan baku, dengan penurunan permintaan Amerika ke China, permintaan bahan baku dari China juga menurun," ujarnya.
Dari 19 komoditas Indonesia, hanya empat yang memiliki nilai RCA di atas satu, yaitu kelapa sawit di angka 3.97, alas kaki di angka 1.57, kopi, teh, dan rempah yang turun di angka 1.32, serta timah di angka 6.66
Hafidz mencontohkan, beberapa komoditas ekspor yang mengalami penurunan dari sektor kelapa sawit, logam, kayu, hingga batu bara, yang pada Q1 2019 mengalami penurunan 10.89 persen dibanding Q1 2018.
"Sedangkan ekspor kita ke Amerika ikut terkena hambatan tarif general, meski tidak terlalu besar kita cuma turun 5.23 persen dalam periode yang sama," ujarnya.
Baca juga: Pengusaha nilai perang dagang AS-China peluang bagi Indonesia
Baca juga: Presiden Jokowi sebut perang dagang jadi peluang bagi Indonesia
Baca juga: Presiden dorong swasta ASEAN cari peluang di tengah perang dagang
Pewarta: Yogi Rachman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019