• Beranda
  • Berita
  • Sofyan: PLTU RIAU-1 demi pencapaian kebutuhan listrik rakyat

Sofyan: PLTU RIAU-1 demi pencapaian kebutuhan listrik rakyat

24 Juni 2019 15:49 WIB
Sofyan: PLTU RIAU-1 demi pencapaian kebutuhan listrik rakyat
Mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (24/6). (Desca Lidya Natalia)

Program 35 ribu MW listrik tersebut merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk menciptakan kemandirian energi dengan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber energi terbarukan

Mantan Direktur PT PLN (Persero) Sofyan Basir menyatakan bahwa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang Riau-1 yang menyeretnya dalam kasus korupsi adalah bagian dari program 35 ribu MW listrik untuk Indonesia.

"Dalam eksepsi ini, terdakwa Sofyan Basir perlu menyampaikan latar belakang adanya proyek PLTU Mulut Tambang Riau-1 yang akhirnya berhenti karena adanya perkara ini. Proyek tersebut berawal dari peresmian peluncuran program 35.000 Mega Watt (MW) listrik untuk Indonesia yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2015," kata penasihat hukum Sofyan, Susilo Aribowo saat membacakan nota keberatan (eksepsi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mendakwa Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan antara anggota Komisi VII dari Partai Golkar DPR Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dan pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR Ltd) Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mempercepat kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Mulut Tambang RIAU-1 dengan imbalan Rp4,75 miliar untuk Eni dan Idrus.

"Program 35 ribu MW listrik tersebut merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk menciptakan kemandirian energi dengan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber energi terbarukan," tambah Susilo.

Penyebabnya adalah karena perkiraan cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam 12 tahun, gas habis dalam waktu 30 tahun dan batu bara habis dalam 60 tahun.

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang menjadi program pemerintah tersebut di atas, pemerintah pusat menugaskan kepada PT PLN dengan memberikan dukungan berupa penjaminan, percepatan perizinan dan nonperizinan, penyediaan energi primer, tata ruang, penyediaan tanah, dan penyelesaian hambatan dan permasalahan, serta penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi.

Untuk kepentingan tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. PT PLN (Persero) lalu menunjuk anak perusahaannya yaitu PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI) untuk melaksanakan 9 proyek Independent Power Producer (IPP) termasuk proyek PLTU Mulut Tambang Riau-1.

"Nantinya listrik yang dihasilkan oleh perusahaan IPP tersebut akan dijual kepada PT PLN, dengan ketentuan anak perusahaan PT PLN yaitu PT PJBI wajib memiliki 51 persen saham perusahaan konsorsium," ungkap Susilo.

Artinya, pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan termasuk pembangunan jaringan transmisi sepanjang 46 ribu km merupakan proyek yang harus dikerjakan dengan menggunakan metode "crash program" (optimalisasi waktu yang biasanya diterapkan saat 'emergency').

"Atau harus dengan percepatan penyelesaian waktu pekerjaan guna pencapaian kebutuhan listrik rakyat secara adil dan merata guna mendorong pertumbuhan ekonomi," tambah Susilo.

Sofyan Basir didakwa berdasarkan pasal 12 huruf a jo pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019