Perjalanan panjang yang cukup menguras tenaga ditambah dengan urusan bagasi dan imigrasi yang lumayan lama, membuat Tim Delegasi Pendidikan Surabaya kelelahan.
Tim delegasi tersebut terdiri dari delapan pendamping dan tujuh siswa ABK (anak berkebutuhan khusus) yang berprestasi bidang musik dan olahraga dari beberapa sekolah di Surabaya di antaranya siswa asal SMP Negeri 7 Surabaya Rahul N, Melinda Putri dari SD Negeri Sidotopo Wetan, Rizky Nova dari SD Negeri Pacarkeling, Early P dari SD Negeri Tambaksari, Firmansyah dari SD Negeri Klampis serta dua siswa dari sekolah lainnya yakni Reva G dan Muhammad Hilbram.
Terlebih, home sick atau rasa rindu yang dialami beberapa ABK juga lumayan menguras waktu, dan energi para pendamping. Ketika masih di Bandara Juanda Surabaya dan Soekarno Hatta Jakarta, anak-anak masih bisa bercanda ria dengan sesama dan anggota delegasi yang lain.
Tapi ketika pesawat sudah jauh meninggalkan Jakarta, maka tangis kerinduan anak-anak mulai terdengar meski terasa samar-samar. "Secara bergantian kami berusaha menenangkan anak-anak yang memang baru pertama meninggalkan keluarga ke tempat yang sangat jauh dan dalam waktu yang lama," kata anggota Tim Delegasi Pendidikan Surabaya Supriyanto yang mendampingi anak-anak, Senin (24/6).
Urusan membujuk anak-anak agar mau makan selama di pesawat pun juga menguras cukup banyak waktu, tenaga para pendamping. Berbagai taktik dan strategi pun dikerahkan oleh para pendamping, agar anak-anak mau makan.
Bahkan, kata Supriyanto, kadang mereka juga harus diperlakukan seperti anak yang baru lulus TK. Anak-anak tersebut diajak lomba makan dan yang paling cepat selesai jadi juara. "Kadang kami bilang, yang ini enak lho, kalau tidak dimakan nanti saya ambil, Alhamdulillah akhirnya berhasil juga, mereka mau makan meski kadang tidak habis satu porsi. Minimal perutnya terisi dan tenaganya bisa dipulihkan serta bisa istirahat, tidur di pesawat," ujarnya.
Namun demikian, Supriyanto mengungkapkan, nama besar Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini sangat membantu memperlancar perjalanan rombongan. Sebelumnya, Wali Kota Risma meminta pihak Qatar Air Ways dan Garuda untuk memberikan layanan prioritas kepada tim delegasi Pendidikan Surabaya. Sehingga semua urusan sebagai penumpang dibantu hingga kami masuk ke dalam pesawat.
Meskipun demikian, rasa lelah itu tetap ada. Apalagi ketika sudah mendarat di Manchester Air Port. Mereka harus antre di Imigrasi tanpa ada pendampingan lagi, semua harus mandiri.
Supriyanto yang juga menjabat sebagai staf Kurikulum di SMPN 40 Surabaya mengatakan sebenarnya ada tiga anggota delegasi yang menjadi pendamping anak-anak, sebelumnya sudah pernah menjalankan tugas yang sama di Korea Selatan.
Namun demikian, ternyata kondisi di Korea Selatan sangat berbeda dengan saat bertugas ke Inggris kali ini. Saat ke Korea Selatan, komunikasi dengan Surabaya hanya terputus saat di pesawat saja. Sementara di semua bandara dan fasilitas publik lainnya ada wifi yang bisa diakses gratis dengan mudah.
Akan tetapi, kata dia, saat bertugas ke Inggris ini, semua jalur wifi tidak ada yang bisa terkoneksi dengan gawai anggota delegasi. Baik saat di Bandara Abu Hamad, Doha, Qatar maupun saat di Bandara Manchester.
"Alhamdulillah saat mampir ke toilet bertemu dengan dua orang doktor, dosen dari Marwadewa Denpasar Bali yang merupakan Alumni Kampus di Manchester. Dengan bantuan mereka, kami bisa berkomunikasi dengan otoritas Imigrasi Inggris dan mendapatkan layanan prioritas lagi," katanya.
Kalau tidak memperoleh layanan prioritas lagi, Supriyanto bersama pendamping lain mungkin saja tak tahu lagi harus berbuat apa, karena tangis salah satu siswa sudah bukan lagi bergemuruh, tapi meraung-raung. Kerinduan benar-benar telah merebut keceriaannya sejak meninggalkan tanah air.
Begitu urusan dengan antrian di Imigrasi berhasil mereka lewati, kemudian tim beralih mengurusi bagasi yang lumayan banyak. Ada total 20 koli berupa koper-koper besar dan beberapa kardus. Padahal tenaga dewasa di tim, hanya ada delapan orang. Sisanya yang tujuh lagi adalah anak-anak tuna netra dan ABK penyandang Low Vision yang sedang kelelahan dan terkena kangen rumah yang serius.
"Saat akan ambil troli kami kebingungan karena troli tidak bisa dikeluarkan dari lokasi penyimpanannya. Ternyata tidak ada yang gratis di sini. Setiap troli yang akan kami gunakan harus membayar di mesin outomatis senilai 1 pounds," katanya.
Padahal, lanjut dia, tak satupun anggota delegasi yang memiliki uang pounds dengan pecahan 1 Pounds. Akhirnya mau tidak mau para pendamping itu harus membawa 20 koper dan kardus-kardus itu tanpa troli. Dengan susah payah dan sesekali koper terjatuh, akhirnya mereka bisa mencapai pintu keluar. Di sana sudah menunggu tim penjemputan dari pihak St. Vincent’s School.
Di Bandara Manchester ini, mereka dijemput oleh Mrs. Buckle, Pastoral Independen Skills Manager (Directrice des Techniques Pastorales et d’independence) beserta staf dan seorang penerjemah dari PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Liverpool, Agata.
"Mereka ikut membantu kami membawa bagasi menuju lokasi parkir bus penjemputan yang ternyata masih sangat jauh. Kemudian kami bersama anak-anak melanjutkan perjalanan dari Bandara Manchester ke Kampus St Vincent’s School di Liverpool yang ditempuh sekitar 45 menit menggunakan bus," ujar Supriyanto.
Ia mengungkapkan setelah rombongan tiba di asrama Kampus St Vincent’s School, rupanya kedatangan mereka telah ditunggu. Sore itu, rombongan disambut langsung oleh seorang pria bernama John Anderson Patterson, selaku Kepala Sekolah St Vincent’s School. Menariknya, pria itu menggunakan ikat kepala berupa blangkon khas Surabaya.
Bahkan, ketika menyapa rombongan, pria itu juga mengucapkan salam seorang Muslim dan menyapa rombongan satu persatu sambil berjabat tangan hangat. Kemudian rombongan pun langsung diarahkan ke sebuah ruangan makan siswa.
Selesai makan, John Anderson Patterson memberikan sambutan singkat di ruang makan itu, lalu mengarahkan rombongan semua ke asrama. Di sana koper-koper para rombongan sudah tertata rapi. Mereka pun dipersilahkan untuk beristirahat untuk memulihkan tenaga.
Mengawali aktivitas
Mengawali aktivitas hari kedua, Rabu, (19/6) di Sekolah Tuna Netra, St Vincent’s School, kegiatan pagi di sekolah selalu dimulai pukul 09.00 untuk sarapan. Selanjutnya sekitar pukul 10.00, kegiatan pendidikan baru dimulai di kelas-kelas. Untuk gambaran jelasnya, di musim panas ini, waktu malam di Kota Liverpool hanya sekitar 6 jam, sedangkan siangnya sekitar 18 jam.
Tim Pendamping Delegasi Pendidikan Kota Surabaya, Supriyanto mengatakan, menu sarapan pagi di sana adalah roti dan sereal lengkap dengan susu dan teh panas. Namun, sebagian besar anggota delegasi tidak terbiasa dengan menu sarapan seperti ini. Akibatnya, sebagian anggota delegasi memilih untuk tidak sarapan, atau hanya sedikit sekali untuk mengganjal perut.
"Untungnya, sehabis shalat subuh tim kami sudah masak nasi dengan oenanak nasi elektrik (rice cooker) dan logistik yang dikirim Bu Risma ke Bandara Juanda. Anak-anak sudah sarapan nasi dengan mie instan, abon, dan kering tempe di dapur asrama," kata Supriyanto.
Ia mengungkapkan hampir semua sisi dinding luar dan dalam kelas St Vincent’s School dipenuhi berbagai karya siswa dan juga poster-poster yang berisi motivasi. Berbagai buku sumber pelajaran dan referensi juga tersedia di dalam kelas.
Termasuk juga beberapa unit komputer lengkap dengan keyboard khusus bagi penyandang tunanetra. Semua poster dan berbagai tempelan media dan identitas ruang atau penunjuk arah dilengkapi dengan huruf Braille.
Semua media pembelajaran juga berbentuk timbul, sehingga bisa dikenali dan dipahami oleh semua siswa tunanetra. Termasuk yang paling menarik adalah beberapa unit Globe Timbul yang dilengkapi dengan huruf braille di Ruang Kelas Sejarah, Geografi dan Hukum.
Selesai acara sarapan bersama, rombongan dari Surabaya kemudian diarahkan berkumpul di Lounge Asrama untuk mendapatkan pengarahan dari Kepala Sekolah St Vincent’s School, Dr. John A Anderson dan Direktur Program Pelatihan, Mrs Bucle.
Pada kesempatan ini, Mr. John Paterson menyampaikan beberapa hal, diantaranya gambaran umum kegiatan delegasi Pendidikan Surabaya selama enam Minggu ke depan. Kegiatan di pekan pertama adalah perkenalan dan orientasi kampus serta identifikasi siswa. Pada pekan-pekan selanjutnya, kegiatan diisi dengan pembelajaran inti yang akan menggunakan metode Sightbox.
"Saya harap hasil dari metode pembelajaran tersebut, dapat dijadikan suatu percontohan bagi Surabaya, terutama terkait dengan kebudayaan dari kedua kota (Liverpool dan Surabaya) dan kedua negara (Inggris dan Indonesia)," kata John.
Disamping itu, John juga berharap agar hasil pembelajaran di St. Vincent’s School ini dapat diterapkan di Surabaya, terutama terkait dengan life skill, musik dan olahraga. "Saya harap para pendidik yang ikut Program Delegasi Pendidikan ini dapat menerapkan ilmunya yang diperoleh dari St. Vincent’s School ini di Surabaya," kata John.
Sementara itu, Direktur Program Pelatihan, Mrs. Buckle memberikan arahan kepada anak-anak dan para pendamping segala hal teknis di sekolah dan asrama. Selain itu, John juga menyampaikan bahwa setiap hari pergantian jam pelajaran ditandai dengan bel. Karena itu, Ia berharap, suara bel tersebut tidak mengganggu dan mempengaruhi kegiatan delegasi pendidikan dari Surabaya.
"Ada bel alarm tanda bahaya pada hari Senin depan pada jam-jam tertentu. Itu hanya sebagai kegiatan simulasi tanggap darurat saja. Semua siswa akan dievakuasi ke titik-titik kumpul yang ada. Sedangkan delegasi Pendidikan dari Surabaya tidak perlu ikut evakuasi, kegiatan tetap berjalan normal seperti biasa," ujar Buckle.
Setelah selesai pengarahan delegasi pendidikan Surabaya kemudian diajak berkeliling untuk melihat semua fasilitas sekolah dan berbagai kegiatan pembelajaran di semua ruangan. Di sekolah tersebut, kegiatan pembelajaran dimulai dari jenjang TK, SD, SMP dan SMA. Setiap kelas siswanya hanya sekitar 4-6 siswa dengan 2-3 guru pembimbing.
Tak hanya itu, anak-anak bersama para pendamping juga diajak melihat fasilitas olah raga dalam ruangan untuk bermain basket, kriket dan futsal. Kala itu, anak-anak terlihat sangat gembira ketika bermain olah raga di sana.
Sejenak mereka bisa melupakan rasa rindunya pada orang tua dan keluarga. Karena beberapa siswa masih sering terlihat nangis selama di pesawat dan juga saat sudah di kamar asrama, karena kangen berat dengan orang tua di tanah air.
Pesan Risma
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebelumnya mengimbau kepada para orang tua agar mempercayakan anaknya kepada pendamping. Risma ingin agar para orang tua tersebut tidak merasa cemas berlebihan, sebab anak-anak di sana berlatih dan berusaha untuk belajar hidup mandiri.
Menurut Wali Kota Risma, ST. Vincent’s School di Kota Liverpool merupakan sekolah tertua di Eropa. Untuk itu, ia memastikan kualitas pendidikan di sekolah tersebut sudah tidak perlu diragukan lagi.
"Di sana guru-gurunya sudah profesor semua, bahkan untuk menangani murid setara SD sampai SMA juga profesor," katanya.
Oleh karena itu, Wali Kota Risma memastikan, selama enam pekan belajar di ST. Vincent’s School mereka tidak perlu mengeluarkan biaya sepersen pun (gratis). Sebab untuk biaya hidup sehari-hari dan transport sudah ditanggung oleh Pemerintah Kota Surabaya, sedangkan untuk biaya sekolah dan tempat tinggal disediakan oleh Pemkot Liverpool.
"Mereka akan belajar banyak sekali, di sana juga banyak fasilitas-fasilitas untuk menumbuhkan jiwa kemandirian," ujarnya.*
Baca juga: Museum olahraga dan pendidikan siap dibangun di Surabaya
Baca juga: Surabaya kembangkan program pendidikan elektronik
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019