Menguak fenomena pneumonia balita Jakarta

25 Juni 2019 20:09 WIB
Menguak fenomena pneumonia balita Jakarta
Seorang bidan memberikan suntikan pada balita saat imunisasi di Posyandu RW 06, Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta, Selasa (26/6/2019) (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Pajanan secondhand smoke (perokok pasif) lebih berbahaya bagi anak dibanding orang dewasa,

Cicih (37) warga Krekot Bunder Raya hanya tercengang ketika ditanya tentang penyakit pneumonia atau radang paru-paru pada bayi di bawah lima tahun (balita).

Cicih bersama putranya Kahfi yang masih berusia dua bulan, rutin mengunjungi Posyandu di RW 06, Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, DKI Jakarta setiap bulannya.

“Kalau pun ada sosialisasi tentang pencegahan bahayanya pneumonia, saya mau dan pengen tahu,” katanya kepada Antara, Selasa (25/6).

Bahkan Cicih tidak mengetahui, jika ada vaksin khusus yang diberikan untuk mencegah penyakit pneumonia pada balita.

Pneumonia merupakan infeksi paru-paru yang disebabkan bakteri, jamur dan virus. Penyakit itu sering disebut penyakit multifaktorial. Selain karena infeksi, kebersihan dan kepadatan penduduk di tempat tinggal, turut mempengaruhi perkembangbiakan penyakit tersebut.

Sementara, perokok pasif juga mengakibatkan sering sekali mengalami batuk, pilek berulang akibat terpapar racun rokok.

Dan pada golongan ekonomi menengah ke bawah, kompor tungku, asap pembakaran sampah dan polusi dapat menyebabkan pneumonia.

Hal tersebut diungkapkan oleh dokter spesialis anak, dr Achmad Rafli SPA bahwa asap rokok yang melekat pada pakaian dan badan dapat memicu timbulnya penyakit pneumonia pada balita.

Demikian disampaikan oleh praktisi kesehatan anak dr Achmad Rafli SPA di Jakarta sehingga perlu memberikan edukasi bagi orang tua, bahwa bukan asap yang keluar dari mulut perokok yang berbahaya, tetapi asap rokok yang menempel di tubuh perokok itu yang sangat berbahaya.

"Pajanan secondhand smoke (perokok pasif) lebih berbahaya bagi anak dibanding orang dewasa," kata dr Achmad.

Seorang balita saat imunisasi di Posyandu RW 06, Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta, Selasa (26/6/2019) (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Pneumonia pada balita dan dewasa berbeda. Pada balita konsepnya infeksi pada saluran nafas atas atau bawah akan berhubungan terlebih infeksi pada jalur alveoli dan bronceolus.

Penyebabnya juga pada balita tersebut gizinya buruk dan penyakit jantung bawaan pada orang tuanya. Pneumonia merupakan infeksi paru-paru yang disebabkan bakteri, jamur dan virus.

Sering disebut juga sebagai penyakit multifaktorial yang mengakibatkan sesak hingga kematian pada balita.

Achmad menjelaskan gejala yang paling mudah ditemui pada balita yang terkena pnemonia ringan, yakni sesak nafas atau gangguan dalam pengambilan oksigen dari paru-paru hingga demam.

Sehingga orangtua yang menemukan balitanya mengalami gejala pneumonia, disarankan jangan diberikan obat-obatan tradisional atau obat herbal.

Kemudian longgarkan pakaian anak agar dapat bernafas lega. Jangan berikan obat-obatan yang diminum melalui mulut, karena balita dapat tersedak.

“Kalau orang tua menemukan anaknya sesak, tidak mau makan hingga lemas, segera dibawa ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan botol oksigen. Nantinya dokter yang akan menilai apakah itu pneumonia atau bukan,” katanya.

Sosialisasi Pneumonia
Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat penyakit pneumonia pada balita menduduki peringkat kedua sebagai penyakit menular setelah diare.

Pada 2018 tercatat 42.305 balita ditemukan dan ditangani dengan diagnosis pneumonia. Prosentasenya sebesar 95,53 persen dari 44.285 balita yang diperkirakan sebagai penderita yang tersebar di enam kabupaten/kota.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sawah Besar, Jakarta Pusat mencatat sebanyak 35 kasus penyakit pneumonia yang menjangkiti balita hingga pertengahan 2019.

“Pneumonia berada di peringkat lima besar temuan penyakit di rumah sakit,” kata Budi ditemui di Jakarta.

​Gejala virus penyebab pneumonia sangat banyak, seperti rhibovirus, respiratory syncytial virus (RSV), virus influenza dan virus campak.

Dia menyebutkan batas frekuensi napas cepat pada bayi kurang dari dua bulan adalah lebih atau sama 60 kali per menit, pada bayi dua-12 bulan adalah lebih atau sama 50 kali per menit dan usia 1-5 tahun adalah 40 kali per menit.

Seorang bidan menimbang balita saat imunisasi di Posyandu RW 06, Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta, Selasa (26/6/2019) (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Balita yang rentan terserang penyakit pneumonia berada di rentang umur 0 bulan sampai tiga tahun, maka jika balita mengalami gejala sakit untuk segera membawa ke pelayanan kesehatan terdekat.

“Penderita sebagian dirawat di rumah sakit dan ada pula dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi,” kata Budi.

Budi menjelaskan pasien yang datang berobat ditangani di poliklinik atau instalasi gawat darurat (IGD). Pasien ditangani sesuai hasil pemeriksaan dokter spesialis anak dengan penanganan bervariasi, tergantung kondisi pasien dan tingkat keparahannya.

“Hingga saat ini, belum ditemukan penderita yang meninggal dunia,” kata Budi.

Umumnya pasien diberikan bantuan oksigen, pemeriksaan darah, foto thorax hingga pemeriksaan penunjang lainnya untuk mengetahui penyebab pasti pneumonia.

Sementara, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit Penular (P2P) Dinkes DKI Jakarta, dr. Dwi Oktavia menjelaskan salah satu upaya dilakukan dengan pencegahan primer.

Pneumonia menjadi penyebab terbesar penyebab kematian balita. Salah satu penyebab utama yakni penyakit campak.

“Campak yang berat dapat menimbulkan pneumonia,” kata Dwi.

Pencegahan primer dilakukan dengan imunisasi dasar lengkap, salah satunya imunisasi campak. Imunisasi campak diberikan untuk balita di bawah sembilan bulan, diulang pada umur 18-24 bulan dan terakhir pada umur 6 tahun.

“Semua balita punya perlindungan dan jangan sampai sakit campak yang berujung pada pneumonia hingga kematian,” ujar Dwi.
 

Pewarta: Mochammad Risyal Hidayat
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019