• Beranda
  • Berita
  • Polemik menyekolahkan pengungsi anak di SD negeri di Pekanbaru

Polemik menyekolahkan pengungsi anak di SD negeri di Pekanbaru

26 Juni 2019 16:12 WIB
Polemik menyekolahkan pengungsi anak di SD negeri di Pekanbaru
Arsip Sejumlah pengungsi asal Afghanistan dan Sudan yang mencari suaka terpaksa tidur di pinggir jalan di depan Kantor Imigrasi Kota Pekanbaru, Riau, Kamis (4/5/2017). Kementerian Luar Negeri menyatakan sebanyak 14.425 pengungsi dan pencari suaka berada di Indonesia yang berasal dari 47 negara, namun diduga sebagai fenomena gunung es karena UNHCR menyatakan, pada 2017 diperkirakan lebih dari 1,19 juta pengungsi perlu ditampung dan angka ini meningkat 72 persen dari jumlah penempatan pada 2014. (ANTARA FOTO/FB Anggoro)

Kalau kita membolehkan mereka bersekolah, itu sama seperti kita sudah meratifikasi konvensi pengungsi. Kalau sudah meratifikasi, pengungsi memang boleh sekolah dan juga bekerja di sini.”

Rencana Pemerintah Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, yang memperbolehkan pengungsi anak untuk bersekolah di sekolah dasar negeri pada tahun ajaran baru menuai kritik karena akan menimbulkan masalah.

“Tidak ada dasar hukum bagi pemerintah Indonesia menyekolahkan pengungsi anak. Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016 hanya mengatur penampungan, pengamanan, pengawasan dan pendanaan. Tidak ada mengatur tentang pendidikan pengungsi,” kata Kepala Divisi Imigrasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Riau, Mas Agus Santoso, di Pekanbaru, Rabu.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru Abdul Jamal, menyatakan SD negeri di Pekanbaru akan mulai menampung pengungsi anak pada tahun ajaran 2019/2020. Hal tersebut karena pertimbangan kemanusiaan mengingat banyak pengungsi anak sudah berada di Pekanbaru 4 sampai 5 tahun, dan pendidikan jadi solusi mencegah masalah sosial di kemudian hari.

Namun, Mas Agus Santoso mengatakan tidak semudah itu bisa memberikan izin pengungsi anak bersekolah. Apalagi Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 terkait Status Pengungsi.

“Kalau kita membolehkan mereka bersekolah, itu sama seperti kita sudah meratifikasi konvensi pengungsi. Kalau sudah meratifikasi, pengungsi memang boleh sekolah dan juga bekerja di sini,” katanya.

Kepala Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Pekanbaru, Junior Sigalingging, mengatakan ada sekitar 285 pengungsi anak yang usianya di bawah 17 tahun. Ia mengatakan sebagai lembaga yang melakukan pengawasan, Rudenim tidak akan memberikan izin pengungsi anak belajar di sekolah formal.

Ia mengatakan selama ini pemerintah Indonesia juga tidak melarang pengungsi anak mendapatkan pendidikan berupa “homeschooling”, di rumah penampungan.

“Selama belum ada aturannya, kami tidak akan memberikan izin,” katanya.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pekanbaru, M Yusuf, mengatakan rencana menyekolahkan pengungsi anak di sekolah formal merupakan tindak lanjut pertemuan di Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, UNHCR, Wali Kota Pekanbaru Firdaus MT, Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru Abdul Jamal dan dirinya.

Rencananya pengungsi anak akan bersekolah di SD negeri yang tidak jauh dari rumah penampungan. Semua biaya ditanggung oleh IOM (International Organization for Migration), lembaga di bawah naungan UNHCR yang mengurus pengungsi.

“Bahkan, setelah itu Pak Abdul Jamal diajak ke Medan oleh IOM untuk melihat bagaimana pengungsi anak di sana bersekolah,” katanya.

Yusuf mengatakan, Pemko Pekanbaru akan mencermati lebih detil rencana tersebut agar jangan melanggar aturan yang ada.

“Rencana ini kan panjang prosesnya, harus diatur lebih jelas apakah boleh pengungsi anak bercampur di sekolah kita, apakah sekolah bisa mengeluarkan ijazah untuk pengungsi dan bagaimana pengawasannya,” kata Yusuf.

Baca juga: IOM kunjungi Medan layani anak-anak pengungsi imigran

Baca juga: Pengungsi Rohingya di Aceh semakin memprihatinkan

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019