Presiden terpilih yang akan ditetapkan KPU setelah hasil sidang sengketa Pemilu Presiden di Mahakamah Konstitusi perlu mengeluarkan kebijakan yang radikal untuk memompa investasi ke dalam negeri, agar mampu meningkatkan produksi domestik sekaligus mengurangi laju impor yang selama ini membebani neraca transaksi berjalan, kata Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual.
"Kebijakan investasi harus lebih radikal karena negara-negara lain seperti Malaysia, Vietnam juga sudah radikal terlebih dulu. Jika tidak, sulit untuk mencapai potensi pertumbuhan 5,6 persen (di 2020)," kata David kepada Antara di Jakarta, Kamis.
Masalah ekonomi domestik yang paling mendesak untuk diselesaikan saat ini, menurut David, adalah defisit neraca transaksi berjalan yang pada akhir 2018 melebar hingga ke 2,98 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Batas aman defisit transaksi berjalan yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) adalah tiga persen dari PDB.
"Jadi memang perlu ada kebijakan 'gila' untuk menopang investasi. Apalagi saat ini kita juga dihadapkan pada tren perlambatan pertumbuhan ekonomi global," ujarnya.
Adapun pemerintah mematok pertumbuhan investasi sebesar 7 persen hingga 7,5 persen pada 2020 untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen hingga 5,5 persen. David mengingatkan target itu hanya bisa dicapai dengan kerja keras dan terobosan konkret.
Insentif fiskal yang selama ini digulirkan seperti pengurangan Pajak Penghasilan hingga wacana "super decuction tax", kata David, belum cukup. Dia menekankan perlunya terobosan kebijakan investasi sembari melanjutkan reformasi struktural di berbagai bidang perekonomian.
Di sisi lain, David memaklumi bahwa tampaknya sulit bagi Presiden Joko Widodo untuk menelurkan kebijakan yang "radikal" pada masa-masa saat ini. David menyebut saat ini adalah masa-masa transisi politik karena banyak partai dan faksi politk yang berkonsolidasi menjelang Oktober 2019, ketika periode pemerintahan baru.
Jika Jokowi terpilih kembali, David meyakini akan terdapat keuntungan bagi perekonomian, karena Jokowi bisa langsung "tancap gas" mengeluarkan kebijakan "radikal". Jokowi tidak perlu lagi konsolidasi dengan parlemen maupun internal partai koalisi pendukung pemerintahan, seperti yang terjadi usai Pemilu 2014.
"Saat ini pelaku pasar juga sedang menanti "kabinet bayangan" yang akan menjabat pada Oktober 2019. Nama-nama di 'Kabinet bayangan' ini nantinya akan mempengaruhi keputusan pasar untuk memperesepsikan ekonomi dalam negeri," ujar dia.
Saat ini, sidang sengketa Pilpres masih berlangsung di MK.
Nilai tukar (kurs) rupiah ditutup pada perdagangan Kamis sore dengan apresiasi, yang disinyalir karena investor merespon proses persidangan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi.
Rupiah menguat 38 poin atau 0,26 persen menjadi Rp14.140 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.178 per dolar AS.
Baca juga: Menkeu: Asumsi pertumbuhan 5,3-5,6 persen pada 2020 masih terukur
Baca juga: Pelaku global prediksi ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen 2019-2020
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019