Pejabat DP3AK Jayawijaya Juli E Massa saat di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Kamis, mengatakan 10 laporan itu terhitung Januari - Juni 2019.
"Yang dominan kasus kekerasan fisik terhadap perempuan dan karena mereka menikah secara adat sehingga kita kembalikan untuk diselesaikan secara adat," katanya.
Baca juga: Kementerian PPPA: KDRT di Aceh kian mengkhawatirkan
Tiga dari 10 kasus sementara didampingi dan konsultasi dengan pimpinan gereja untuk diselesaikan secara agama seperti permintaan pihak keluarga.
Kepala Seksi Perlindungan Perempuan di DP3AKB ini mengatakan DP3AKB tidak lagi melakukan pendampingan bagi korban jika sudah ditangani secara adat.
"Kecuali korban ke RSUD untuk melakukan visum atau ke Kepolisian untuk membuat laporan, barulah akan didampingi," katanya.
Delapan dari 10 kasus dialami perempuan asli Papua dan dua lainnya warga non-asli Papua.
"Korban mengalami kekerasan berat namun sudah berlangsung lama baru dilaporkan sehingga bekas luka tidak terlihat lagi. Ada juga penelantaran, tidak dibiayai serta poligami," katanya.
DP3AKB Jayawijaya menilai penyelesaian KDRT secara adat kurang memberikan efek jera bagi pelaku.
"Karena pembayaran denda bukan kepada korban tetapi keluarga korban dan mungkin dibiarkan (membiarkan korban) saja," katanya.
Ia mengatakan hingga kini ada satu laporan kasus yang berkaitan dengan perlindungan anak dan sementara diproses pihak keamanan.
Baca juga: Kementerian PPPA minta pemda tangani KDRT dengan serius
Baca juga: Sekolah Perempuan Ciliwung ingin menekan KDRT lewat pendidikan
Baca juga: Hukum adat dinilai gagal berikan keadilan pada perempuan korban kekerasan
Pewarta: Marius Frisson Yewun
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019