"Terima kasih untuk Yulika Anastasia Indrawati dan teman-teman Imaji Papua yang telah mengangkat potensi kearifan lokal di kampung Enggros," katanya di Kota Jayapura, Papua, Kamis.
Menurut dia, Yulika dan Imaji Papua telah berupaya mengkampanyekan perlindungan hutan perempuan yang ada di Kampung Enggros, Distrik Abepura, Kota Jayapura.
"Termasuk memperkenalkan Kota Jayapura, bagaimana perempuan Enggros mencari bia (sejenis kerang,red) dalam hutan itu dengan dilakukan tanpa sehelai pakaian pun," kata BTM.
Produser dan sutradara film dokumenter Tonotwiyat (hutan perempuan) Yulika Anastasia Indrawati menjelaskan bahwa proses penggarapannya film tersebut menghabiskan waktu lebih dari setahun, dari mulai riset hingga produksi.
"Kalau produksinya kurang dari sebulan, yang lama itu risetnya, karena ini projek idealis, tidak ada sponsor dari manapun. Kami menggunakan dana pribadi dari mulai riset hingga produksi," jelasnya.
Ia mengaku dalam menggarap film dokumenter ini terdiri dari Alfonso Dimara, Robby Seseray, Hermalina Windessy dan Nunung Kusmiaty serta dirinya sebagai produser.
Film dokumenter itu, ungkap dia, digarap secara independen yang berkisah tentang perempuan Enggros yang berupaya untuk mempertahankan kearifan lokal, yakni dengan cara mencari bia/ kerang dan ikan, sesuai dengan tradisi yang diwariskan turun menurun.
Mengenai pemilihan judul, mantan editor disalah satu perusahaan Tv lokal Papua itu menjelaskan sama seperti judulnya, hutan perempuan adalah hutan yang hanya boleh dimasuki oleh kaum perempuan dan terlarang bagi kaum pria.
Dimana, kata dia, ada sangsi hukum adat bagi pria yang nekat kesana. Letak hutan perempuan berada di Teluk Yotefa, tepatnya di wilayah Kampung Enggros, Distrik Abepura, Kota Jayapura.
"Hutan perempuan adalah ruang privat bagi kaum perempuan yang tidak boleh diganggu, dan harus dilindungi sebab disana 'mall kehidupan' bagi kaum perempuan. Sayangnya generasi sekarang, cenderung acuh tak acuh terhadap keberadaan hutan perempuan," katanya.
Dia menambahkan film tersebut dipersembahkan untuk Ibu Iriana Joko Widodo dengan alasan film ini ingin menunjukkan kesamaan makna filosofi antara "Ton" atau sebutan hutan dalam bahasa Enggros dengan figur seorang ibu atau mama.
Ia mengemukakan bahwa hutan adalah mama bagi masyarakat suku Enggros, karena di dalam hutan tersebut menyediakan sumber makanan, yakni kerang, beragam ikan, hingga kayu bakar.
"Hutan perempuan ini secara filosofi dimaknai seperti mama yang memberikan kehidupan dan melindungi makhluk hidup yang ada di dalamnya," katanya.
Pemutaran perdana film dokumenter tersebut sudah dilakukan pada Senin pekan ini di Cafe n Resto Gracis Grand Abe Hotel yang disaksikan langsung oleh Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano dan para pejabat setempat, serta warganet dan pemerhati film serta lingkungan.
Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019