Apalagi menurut data BPS, ekspor non migas yang mencapai angka 74 persen, lebih dari separuhnya merupakan hasil industri pengolahan berteknologi rendah atau hasil pengolahan tahap awal dan barang setengah jadi saja, terutama dari sumber pertanian dan pertambangan.
"Komoditas tersebut relatif tidak memiliki nilai tambah yang signifikan. Alhasil kebutuhannya di pasar global relatif konstan dan daya saingnya lebih rendah terutama untuk komoditas yang memiliki substitutif," kata Hafidz Arfandi saat dihubungi Antara, Kamis.
Dia juga menyarankan industri dapat mengolah komoditas-komoditas tersebut agar dikembangkan turunannya di Indonesia supaya dapat berkompetisi di pasar global.
Untuk itu, pemerintahan Jokowi perlu memberikan insentif untuk mendorong industri turunan agar dapat memanfaatkan produk turunan dan memperkuat industri dalam negeri, khususnya di sektor olahan plastik, karet sintesis, dan kimia yang masih banyak bergantung pada impor.
Jokowi di periode kedua, menurut dia, juga harus fokus memastikan pembangunan enam kilang berjalan lancar agar mengurangi impor hasil minyak, seperti BBM dan LPG.
Saat ini, kapasitas kilang minyak hanya 1 juta barel per hari (bph), padahal konsumsinya sudah 1,6 juta bph, dengan kehadiran 6 kilang baru ditargetkan bisa mencapai produksi 2 juta bph.
"Bisnis kilang bisnis yang tidak sederhana karena marjin profitnya relatif tipis, tetapi sangat urgen sehingga harus banyak didukung dengan insentif yang memadai," ujarnya.
"Kalau dua PR ini teratasi, kita bisa membalik keadaan dari defisit menjadi surplus neraca perdagangan, untuk itu pemerintah harus serius. PR pentingnya kabinet ke depan harus diisi orang-orang profesional dan capable di bidang ekonomi," imbuhnya.
Pewarta: Yogi Rachman
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019