"Mekanisme 'checks dan balances' ini dibutuhkan untuk mewujudkan tata kelola dan penyelenggaraan pemerintahan yang terkontrol, sehingga pemerintahan yang sedang berkuasa tidak keluar 'jalur' dan bertindak sewenang-wenang," kata Pangi Syarwi melalui telepon selulernya, di Jakata, Selasa.
Baca juga: Pengamat: perlu oposisi dalam sistem politik demokrasi
Menurut Pangi Syarwi, kelompok oposisi juga harus memperkuat diri untuk memaksimalkan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan. Mekanisme "checks and balances" ini, kata dia, harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri.
"Berkuasa atau berada di luar kekuasaan adalah satu paket, tujuannya tetap sama yakni memastikan negara berjalan sesuai konstitusi dan meminimalisir terjadinya
penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan," katanya.
Baca juga: Analis: Peran oposisi tidak kalah terhormat dari penguasa
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini menambahkan, tidak boleh ada pandangan sinis terhadap oposisi sebagai kelompok "pengganggu".
"Pandangan ini harus diluruskan, karena pemahaman itu keliru. Memandang sinis terhadap oposisi dan upaya mengkebiri kelompok ini sebagai 'pengganggu' stabilitas negara, akan mendorong negara ke jurang tirani mayoritas dan otoritarianisme," katanya.
Pangi juga memandang, adanya upaya "rekomposisi" koalisi pasca-pilpres adalah bentuk ketidakpercayaan diri dari koalisi pemenang pilpres terhadap kekuatan
politiknya sendiri. Padahal, kekuatan koalisi parpol pendukung pemerintahan petahana di parlemen sudah cukup dominan, yakni 60 persen.
Baca juga: Ganjar sebut pentingnya peran oposisi pada pemerintahan
Di sisi lain, Pangi juga melihat langkah "rekomposisi" ini sebagai upaya membungkam kelompok oposisi untuk melemahkan daya kritisnya terhadap kekuasaan.
"Intrik politik semacam ini semestinya bisa dihindari dengan upaya membentuk koalisi permanen yang tidak mudah goyah hanya karena godaan pembagian 'kue
kekuasaan' semata," katanya.
Adanya koalisi permanen, menurut dia, akan mendorong kelompok oposisi punya proposal tandingan sebagai "second opinion" sehingga nantinya kebijakan pemerintah bukan hanya dikritik tanpa dasar, juga punya alternatif berfikir konstruktif untuk kontrol kepada pemerintahan.
Soal tawaran agar Partai Gerindra masuk ke koalisi pemerintahan Jokowi, menurut Pangi, sebaiknya tidak masuk, karena akan membuat demokrasi menjadi tidak sehat dan akan menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.
"Salah satu kelemahan sistem presidensial setengah hati adalah karena dipadukan dengan multi-partai. Ini yang sering kita sebut cacat bawaan sistem presidensial multi-partai, tidak berlebihan saya sebut sistem presidensial banci," katanya.
Menurut Pangi, dalam sistem presidensial murni, partai pengusung utama calon presiden yang menang akan langsung jadi partai berkuasa atau "the ruling party", sementara pihak yang kalah otomatis memposisikan diri menjadi partai oposisi.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019